24 Jan 2010

EKSTRADISI DALAM PRAKTEK NEGARA-NEGARA (Oleh : Agustinus Supriyanto)



Di tengah-tengah kemapanan dan “terhormatnya” eksistensi ekstradisi sebagai lembaga hukum internasional maupun nasional, sekarang baiklah ditinjau praktek negara-negara dalam kasus-kasus kejahatan yang berkaitan dengan ekstradisi.
Dalam era globalisasi masyarakat internasional dewasa ini yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, sehingga segala sesuatunya berlangsung serba cepat, tidak dapat disangkal bahwa timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional semakin lama semakin bertambah banyak jumlah maupun jenisnya, misalnya kasus OKI dan kasus Nick Leeson: Pada lain pihak, ekstradisi sebagai suatu lembaga hukum yang eksistensinya sudah mapan dan terhormat, memberikan perlindungan yang cukup besar terhadap individu si pelaku kejahatan dengan hak-hak asasinya, serta dengan prosedur atau formalitas yang panjang dan birokratis, yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang cukup besar.
Ini justru tampak menjadi dilema, karena di satu pihak untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang berdirnensi internasionol yang sering kali amat canggih, dibutuhkan kecepatan bertindak, sedangkan pada lain pihak dihadapkan dengan lembaga hukum ekstradisi yang sangat formalisistis dan birokratis.
Pertanyaannya adalah, sejauh manakah ekstradisi ini dilaksanakan secara konsisten dalarm praktek negara-negara? Masih bisakah ekstradisi ini dipandang sebagai sarana yang ampuh dalam pencegahan dan pemberantasan, kejahatan yang berdimensi internasional? Apakah ada upaya hukum lain yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas kejahatan yang berdimensi internasional?
Dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun (tepatnya sembilan tahun 1986-1995), ternyata hanya beberapa kasus saja yang diselesaikan melalui ekstradisi, seperti kasus Andrija Artukovic seorang penjahat perang Nazi Jerman pada waktu Perang Dunia 11, yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Yugoslavia pada tanggal 13 Februari 1986; kasus John Demjanjuk yang juga seorang penjahat perang Nazi Jerman yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Israel pada tanggal 28 Feburari 1986; kasus Sobhraj, seorang warga negara India yang dituduh telah membunuh banyak orang dari pelbagai kewarganegaraan di Thailand pada tahun 1986, yang dimintakan ekstradisinya kepada India oleh negara--negara yang berkepentingan.
Belakangan ini, tepatnya tahun 1995 muncul kasus OKI seorang warganegara Indonesia yang dituduh telah membunuh dua orang warganegara Indonesia dan seorang warganegara Amerika Serikat keturunan India di Los Angeles, Amerika Serikat; dan kasus Nick Leeson yang dituduh oleh Singapura melakukan kejahatan sehingga merugikan Bank Baring Pcl, yang ternyata kemudian melarikan diri ke Jerrman, dan kini sedang diselesaikan proses ekstradisinya oleh kedua negara (Jerman dan Singapura).
Data ini tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai indikasi, bahwa hanya sejumlah inilah terjadinya kasus-kasus kejahatan yang berdimesi internasional selama kurun waktu hampir sepuluh tahun belakangan ini. Meskipun tidak didukung dengan data statistik yang valid, kiranya tidaklah berkelebihan jika dikatakan masih terdapat banyak kejahatan-kejahatan lain yang berdimensi internasional yang tidak diselesaikan melalui lembaga ekstradisi.
Kalau demikian, timbul pertanyaan lagi, melalui prosedur apa penyelesaian kasus-kasus tersebut ? Ternyata dalam praktek negara-negara, berkembang pula suatu cara baru dalam penyerahan pelaku kejahatan yang berdimensi internasional, yaitu melalni cara pengusiran atau deportasi dan “penyerahan di bawah tangan”. Cara ini jauh lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan melalui lembaga ekstradisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar