19 Mei 2010

Palestina Kampanye Larang Beli Barang Israel

Ramallah, Tepi Barat (ANTARA News/AFP) - Warga Palestina pada Selasa melancarkan kampanye dari pintu ke pintu untuk melarang pembelian barang dagangan Israel.

"Kampanye dari pintu ke pintu ini merupakan bagian dari kampanye nasional untuk mencegah barang dagangan Israel masuk ke wilayah Palestina, dan hari ini kampanye itu mulai berlangsung di seantero Palestina," kata Koordinator kampanye, Haitham Kayali.

Menurut dia, sekitar 3.000 pemuda Palestina akan menyambangi 427.000 rumah di seluruh Tepi Barat untuk mendistribusi pamflet-pamflet dan daftar nama-nama barang dagangan pemukim Yahudi yang dilarang dibeli.selengkapnya

Israel Akan Hadang Kapal Pembawa Bantuan Palestina

Jerusalem (ANTARA News/AFP) - Seorang pejabat senior Israel, Senin, mengatakan pada para diplomat Eropa bahwa rencana oleh para aktivis pro Palestina untuk mematahkan blokade angkatan laut Israel terhadap Jalur Gaza adalah "provokatif" dan tindakan itu akan dihentikan.

Gerakan Gaza Merdeka, kelompok internasional yang berusaha untuk mengapalkan barang-barang kemanusiaan dan aktivis ke jalur pantai itu, bermaksud untuk mengirim tiga kapal barang dan lima kapal penumpang ke Gaza dari Irlandia, Yunani dan Turki.

"Ini adalah provokasi dan pelanggaran atas undang-undang Israel," kata Naor Gilon, wakil direktur jenderal kementerian luar negeri Israel, pada duta besar Irlandia, Yunani, Turki dan Swedia, yang warganya, menurut kementerian itu, terlibat dalam rencana tersebut.

Gilon mengatakan, seperti dikutip oleh sebuah pernyataan kementerian luar negeri, bahwa Israel tidak punya maksud untuk membolehkan armada kecil itu masuk Gaza. selengkapnya

Pengaruh Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1860/2009 Terhadap Perdamaian Israel-Palestina

V.                 KEGUNAAN PENELITIAN
            Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, penulis membagi kegunaan penulisan hukum ini ke dalam dua hal, yaitu:
1.         Bagi peneliti dapat digunakan untuk menambah khazanah keilmuan, wawasan pendidikan, serta pengalaman dalam menyusun suatu penelitian hukum.
2.         Bagi dunia ilmu pengetahuan diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran penulis dalam penyelesaian sengketa melalui konsep hukum internasional.

VI.               TINJAUAN PUSTAKA
            Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi negara-negara merdeka yang telah menerima kewajiban-kewajiban yang dimuat dalam Piagam PBB yang ditandatangani di San Fransisco pada tanggal 26 Juni 19453. Prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam piagam tersebut berasal dari konsepsi-konsepsi dan rencana-rencana sekutu pada masa Perang Dunia II, yang pertama kali dinyatakan dalam:
(a)                Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang diajukan oleh Presiden Amerika Serikat dan Perdana Menteri Inggris pada bulan Agustus 1941.
(b)                Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa yang ditandatangani oleh 26 negara pada Hari Tahun Baru 1942 setelah Jepang memulai permusuhan-permusuhan di Pasifik.
(c)                Deklarasi Moskow Oktober 1943, yang dikeluarkan oleh pemerintah-pemerintah Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Cina, yang mengakui perlunya mendirikan suatu organisasi internasional umum yang dilandasi oleh prinsip persamaan kedaulatan dari negara-negara yang cinta damai dan terbuka keanggotaaannnya bagi semua negara besar maupun kecil, demi untuk ememlihara perdamaian dan keamanan internasional.
            Berkaitan dengan yurisdiksi Dewan Keamanan, PBB sesuai dengan pasal 2(7) piagam pada dasarnya tidak diperbolehkan untuk mengadakan campur tangan urusan dalam negeri suatu negara termasuk campur tangan yang dilakukan oleh Dewan Keamanan, kecuali jika tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pengenaan sanksi baik ekonomi maupun miliiter terhadap suatu negara yang tidak mentaati keputusan Dewan Keamanan atas pelanggaran yang dapat mengancam perdamaian termasuk tindakan agresi4. Begitupun juga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa internasional yang mempengaruhi perdamaian dan keamanan seperti yang terjadi di dalam konflik Israel-Palestina. Wewenang Dewan Keamanan tentang penyelesaian sengketa internasional yang termuat dalam Bab IV Piagam PBB, yaitu sebagai berikut5:
a)      Dewan Keamanan apabila dipandang perlu akan memanggil para pihak yang terlibat dalam suatu snegketa, yang jika berkelanjutan akan menimbulkan suatu kemungkinan bahaya terhadap perdamaian dan keamanan, untuk menyelesaikan sengketa -sengketa tersebut melalui perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian yudisial, tindakan oleh badan-badan regional atau berdasarkan persetujuan-persetujuan regional, atau dengan cara-cara damai lainnya (pasal 33 piagam).
b)      Dewan Keamanan menyelidiki bukan saja sentiap macam sengketa, namun juga keadaan-keadaan yang sedemikian rupa sehingga keadaan-keadaan tersebut dapat menimbulkan perselisihan internasional atau menimbulkan suatu sengketa, untuk menentukan apakah sengketa-sengketa tersebut kemungkinan membahayakan perdamaian dan keamanan (pasal 34).
c)      Selama berlangsungnya suatu sengketa atau keadaan, yang apabila berkelanjutan akan membahayakan perdamaian dan keamanan, Dewan Keamanan akan merekomendasikan “prosedur-prosedur atau metode-metode yang layak” untuk penyelesaian. Pada umumnya, sengketa-sengketa hukum harus diserahkan kepada International Court of Justice (pasal 36).
d)      Apabila semua pihak yang terlibat dalam sengketa memintanya, Dewan Keamanan dapat merekomendasikan syarat-syarat untuk penyelesaian sengketa (pasal 38).
            Dalam konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, beberapa resolusi telah dikeluarkan baik oleh Majelis Umum maupun Dewan Keamanan PBB. Resolusi pertama terjadi pada tahun 1967, ketika Israel menggunakan cara-cara militer untuk merebut wilayah palestina. Resolusi yang dimaksud adalah Resolusi Dewan Keamanan No.242, yang diterbitkan pada tanggal 22 November 1967. Resolusi tersebut menekankan penolakan terhadap pencaplokan wilayah dengan cara perang dan mendorong perlunya usaha perdamaian yang adil dan langgeng dimana  setiap negara dapat hidup dengan aman melalui penarikan pasukan bersenjata Israel dari wilayah-wilayah yang diduduki dalam konflik pada saat itu sehingga menjadi akhir semua klaim atau keadaan perang, dihormati dan diakuinya kekuasaan, integritas wilayah dan politik setiap negara di Timur Tengah, serta hak-hak untuk hidup aman di wilayah perbatasan yang diakui, yang bebas dari ancaman maupun pengerahan kekuasaan5.
            Resolusi kedua adalah Resolusi Dewan Keamanan No. 250/1968. Resolusi tersebut di antaranya menegaskan kembali resolusi sebelumnya dan juga penegasan bahwa penambahan wilayah melalui penaklukan militer tidak dapat diterima. Resolusi tersebut dikeluarkan karena memperhatikan bahwa sejak diadopsinya resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan baik oleh Majelis Umum maupun Dewan Keamanan PBB, Israel telah mengambil langkah lebih jauh dan bertindak bertentangan dengan resolusi-resolusi tersebut. Selanjutnya pada tanggal 15 September 1969, Dewan Keamanan mengeluarkan lagi Resolusi No. 271 yang berisi antara lain tentang pernyataan mengenai bahaya yang ditimbullkan terhadap perdamaian dan keamanan menyusul kerusakan yang sedemikian parah di Masjid Suci Al Aqsa di Jerusalem, di wilayah pendudukan Israel, karena pada tanggal 21 Agustus 1969 secara sengaja dibakar.  Resolusi selanjutnya yang ditetapkan adalah Resolusi No. 476 yang diterbitkan pada tanggal 21 Agustus 1980. Dalam resolusi ini membahas tentang penegasan kembali karakter geografis, demografis, sejarah, dan status kota Jerusalem. Pada awal tahun 2009, menyusul agresi militer Israel ke Jalur Gaza, untuk kesekian kalinya Dewan Keamanan mengeluarkan resolusinya. Resolusi Dewan Keamanan No.1860/2009 tersebut menyerukan adanya gecatan senjata segera dan bertahan lama yang akan mengarah kepada penarikan sepenuhnya pasukan Israel. Dalam resolusi tersebut juga diserukan penyaluran bantuan kemanusiaan secara aman, termasuk makanan dan peralatan medis. Resolusi itu disetujui oleh 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB. Amerika Serikat memilih abstain dalam voting tersebut.

Pengaruh Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1860/2009 Terhadap Perdamaian Israel-Palestina

III.                  TUJUAN PENELITIAN
            Sebagaimana perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penulisan hukum ini diantaranya adalah :
1.         Tujuan Obyektif
Untuk menganalisis yurisdiksi Dewan Keamanan PBB terhadap sengketa internasional serta untuk mengetahui pengaruh  dan implikasi yang timbul dari resolusi Dewan Keamanan     PBB     No. 1860/2009 terhadap upaya perdamaian Israel-Palestina.
2.         Tujuan Subjektif
Penulisan hukum ini bertujuan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat  memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.



 

Pengaruh Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1860/2009 Terhadap Perdamaian Israel-Palestina

II.                     PERUMUSAN MASALAH
          Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan penulisan hukum ini yaitu sebagai berikut :
“Bagaimanakah pengaruh resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1860/2009 terhadap upaya perdamaian dalam konflik Israel dan Palestina berdasarkan yuridiksinya dan implikasi apa yang timbul setelah dikeluarkannya resolusi tersebut.”

Pengaruh Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1860/2009 Terhadap Perdamaian Israel-Palestina

I.       LATAR BELAKANG
            Tanggal 14 Mei 1948 adalah tonggak bagi semakin kritisnya hubungan Israel dan Palestina. Pendeklarasian negara zionis Israel di wilayah Palestina telah menimbulkan reaksi negatif dari rakyat Palestina yang berbuah konflik yang meluas dan telah menghilangkan ribuan nyawa melayang baik dari kalangan militer maupun sipil.
            Keberadaan negara Israel yang diproklamirkan oleh David Ben Gourion tentu tak terlepas dari cita-cita awal pergerakan zionis yang didirikan Theodore Herzl pada tahun 1896 itu. Kongres pertama gerakan zionis di Basle-Swiss tahun 1897 merekomendasikan, berdirinya sebuah negara khusus bagi kaum Yahudi yang tercerai berai di seluruh dunia. Pada kongres kedua tahun 1906, gerakan zionis pimpinan Herzl itu baru merekomendasikan secara tegas, mendirikan sebuah negara bagi rakyat Yahudi di tanah Palestina. Situasi politik di Eropa akibat Perang Dunia I, memberi awal peluang bagi gerakan zionisme itu untuk menggapai cita-citanya tersebut. Inggris yang terlibat dalam Perang Dunia I melawan Jerman, ternyata bekerja sama dengan gerakan zionis pimpinan Herzl dan bangsa-bangsa Arab yang berada di bawah otoritas dinasti Ottoman (Khalifah Usmaniyah). Inggris di satu pihak mendorong bagi bangkitnya nasionalisme Arab untuk melawan kekuasaan dinasti Ottoman yang memihak Jerman saat itu. Di pihak lain, Inggris memberi janji pula sebuah negara di Palestina pada gerakan zionisme saat itu, hingga terjadi semacam konspirasi internasional yang membentangkan jalan berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina. Ada dua peristiwa sejarah penting yang menjadi fondasi bagi berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina.
            Pertama, Perjanjian Skyes-Picot tahun 1916 antara Inggris dan Perancis, yang membagi peninggalan dinasti Ottoman di wilayah Arab. Pada perjanjian tersebut ditegaskan, Perancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sedang Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Jordania. Sementara Palestina dijadikan status wilayah internasional. Kedua, Deklarasi Balfour tahun 1917, yang menjanjikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina pada gerakan zionis. Di bawah payung legitimasi Perjanjian Skyes-Picot dan Deklarasi Balfour tersebut, warga Yahudi di Eropa mulai melakukan imigrasi ke tanah Palestina pada tahun 1918.
            Namun proses imigrasi Yahudi besar-besaran dari Eropa ke tanah Palestina dimulai pada tahun 1930-an. Impian gerakan Zionis itu baru terwujud ketika Majelis Umum (MU) PBB mengeluarkan resolusi No. 181 pada 19 November tahun 1947 yang menegaskan membagi tanah Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab. Resolusi PBB No. 181 tersebut, mengantarkan David Ben Gourion memproklamirkan negara Yahudi pada 14 Mei tahun 1948. Ideologi Zionisme secara singkat dapat didefinisikan sebagai kepercayaan tentang kembalinya orang-orang dan bangsa Yahudi selama berabad-abad, sehingga dapat menyelamatkan mereka dari kekuasaan orang-orang non-Yahudi.
            Selama ini telah terjadi konflik yang penuh dengan kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak yang bertikai (Israel-Palestina), pada berbagai kesempatan telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan. Banyak yang cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh Persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Demikian juga, mereka yang bersimpati dengan aksi militer dan langkah-langkah Israel lainnya dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang gerakan ini sebagai pembelaan diri yang sah oleh bangsa Israel dalam melawan kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al Fatah, dan sebagainya. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel perlu menguasai sebagian atau bahkan seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-pandangan yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-masing pihak di dalam konflik ini menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.
            Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai suatu organisasi internasional yang diaggap sebagai representasi dari masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk aktif dalam usaha menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Salah satu organ PBB yang memiliki tanggung jawab atas perdamaian dan keamanan internasional tersebut adalah Dewan Keamanan (DK). Dewan Keamanan merupakan organ khusus yang berdasarkan kalaikan komposisi dan kekuasaannya dapat menjamin menghindarkan umat manusia dari bencana peperangan1. Negara-negara anggota PBB melimpahkan tanggung jawab kepada Dewan Keamanan sesuai dengan pasal 4 Piagam PBB yang menyebutkan bahwa untuk menjamin tindakan yang cepat dan efektif, maka negara-negara anggota PBB menyerahkan kepada Dewan Keamanan sebuah tanggung jawab yang utama, yakni memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui pula bahwa Dewan Keamanan akan bertindak atas nama mereka. Untuk itulah, dalam memenuhi kewajibannya Dewan Keamanan harus bertindak sesuai asas dan tujuan berdirinya PBB.
            Adapun tanggung jawab dari Dewan Keamanan PBB yaitu:
1.      Menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara damai, yaitu dengan cara yang didasarkan atas persetujuan sukarela atau paksaan hukum dalam menjalankan persetujuan.
2.      Mengambil tindakan-tindakan terhadap ancaman perdamaian.
Sedangkan wewenang-wewenang dan fungsi- fungsi utama dari Dewan Keamanan berkaitan dengan hal-hal berikut2:
i.         penyelesaian damai atas sengketa-sengketa internasional;
ii.       tindakan preventif atau pemaksaan untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan;
iii.      badan-badan regional dan perjanjian-perjanjian regional;
iv.     kontrol dan supervisi atas wilayah perwalian yang digolongkan sebagai kawasan-kawasan strategis;
v.       penerimaan, penskorsan, dan pemecatan angota-anggota;
vi.     amandemen-amandemen terhadap UN Charter (pasal 108-109);
vii.    bersama-sama dengan Majelis Umum melakukan pemilihan kelima belas hakim International Court of Justice.
           

            Resolusi Dewan Keamanan No 1860/2009 menurut penulis adalah sebuah kelanjutan dari resolusi-resolusi yang pernah ditetapkan oleh Dewan Keamanan berkaitan dengan konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina pada masa sebelumnya. Perbedaan dengan resolusi-resolusi sebelumnya hanyalah terletak pada cara-cara yang ditempuh. Pada pokoknya resolusi-resolusi tersebut dibuat untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan Israel-Palestina. Ketetapan-ketetapan yang terdapat dalam Piagam PBB juga telah memperlihatkan kekuatan mengikat resolusi Dewan Keamanan serta pengaruhnya secara yuridis. Akan tetapi, kekuatan mengikat dan pengaruh resolusi-resolusi tersebut dirasakan masih sangat kurang efisien dan efektif, yang disebabkan oleh kegagalan dalam melakukan mediasi antara kedua belah pihak yang bertikai maupun pelanggaran-pelanggaran yang dibuat dalam rangka implementasi resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan. Melalui penelitian ini, penulis hendak mengetahui pengaruh dan implikasi yang timbul dari salah satu resolusi yaitu resolusi Dewan Keamanan No. 1860/2009 dalam wujudnya terhadap perdamaian dan kemanan internasional khususnya di Timur Tengah.