25 Jan 2010

Korban Tewas Haiti Capai Sedikitnya 120.000 Orang

 Port-au-Prince (ANTARA News/Reuters) - Pemerintah Haiti menemukan sekitar 120.000 jasad akibat gempa pada 12 Januari, tapi angka terakhir dapat lebih tinggi puluhribuan, kata wanita juru bicara pemerintah pada Sabtu.

"Sudah sekitar 120.000 mayat kami temukan, tanpa menghitung yang dikumpulkan keluarga mereka," kata Menteri Penerangan dan Kebudayaan Marie-Laurence Jocelyn Lassegue.

"Kami sekarang berkeliling ke rumah duka untuk menghitung, tapi itu bisa menambahkan beberapa puluh ribu lagi," tambahnya.

Pemerintah memakamkan korban gempa itu di pemakaman massal. selengkapnya..

24 Jan 2010

BEBERAPA ASAS POKOK EKSTRADISI (Oleh : Agustinus Supriyanto)



Ekstradisi adalah:
Penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan asas timbal balik atas orang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau orang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum) oleh negara tempatnya berada, bersembunyi atau melarikan diri, kepada negara yang menuduh atau menghukum sebagai negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut dengan maksud untuk mengadili atau menghukumnya.
    Dari definisi ini dapatlah dikemukakan beberapa unsur penting yang harus dipenuhi supaya dapat disebut ekstradisi, yaitu:
1.    Ekstradisi adalah merupakan penyerahan orang yang diminta yang dilakukan secara formal, jadi harus melalui cara atau prosedur tertentu.
2.    Ekstradisi hanya bisa dilakukan apabila didahului dengan permintaan untuk menyerahkan dari negara-peminta kepada negara-diminta.
3.    Ekstradisi bisa dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya atau juga bisa dilakukan berdasarkan asas timbal balik apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Dalam hal ini praktek negara-negara berbeda-beda. Ada negara-negara yang bersedia menyerahkan orang yang diminta walaupun sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Ada negara-negara yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak.
4.    Orang yang diminta bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh atau terdakwa dan bisa juga sebagai terhukum.
5.    Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili orang yang diminta atau menjalani masa hukumannya.
    Walaupun dari definisi ini sudah kelihatan ada gambaran yang agak jelas tentang ekstradisi tersebut, tetapi masih terdapat beberapa asas pokok yang harus ditaati dan selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi serta ditaati oleh para pihak dalam setiap kasus yang menyangkut ekstradisi.
Asas-asas pokok tersebut adalah :
1.    Asas kejahatan ganda, artinya, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang diminta itu dan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan, haruslah merupakan kejahatan dan dapat dijatuhi hukuman menurut sistem hukum pidana kedua pihak (negara¬-peminta dan negara-diminta).
2.    Asas kekhususan, artinya kejahatan yang dijadikan sebagai alasan atau dasar untuk meminta penyerahan orang yang diminta hanyalah kejahatan yang secara tegas tergolong sebagai kejahatan yang dapat dimintakan penyerahan. Apabila kejahatan itu tidak tergolong sebagai kejahatan yang dapat dijadikan dasar/alasan untuk meminta penyerahan, maka permintaan untuk menyerahkan itu harus ditolak.
3.    Dilarang menyerahkan orang yang melakukan kejahatan politik. Setiap orang yang melakukan kejahatan politik, apabila melarikan diri dan bersembunyi di negara lain, orang tersebut harus dilindungi dan tidak boleh diserahkan kepada negara yang memintanya.
4.    Tentang penyerahan warga negara, negara-diminta diperbolehkan untuk tidak menyerahkan orang yang diminta apabila orang yang diminta itu ternyata warga negaranya sendiri. Ada pula yang menganut bahwa tidak menyarahkan warga negaranya adalah suatu kewajiban dari negara.
5.    Asas ne bis in idem, artinya, penyerahan tidak dilakukan apabila keputusan pengadilan telah dijatuhkan atas kejahatan yang dimintakan penyerahan.
6.    Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Jika kejahatan yang dimintakan penyerahan oleh negara-peminta diancam dengan hukuman mati menurut hukum negara-peminta sedangkan menurut hukum negara-diminta kejahatan tersebut tidak diancam hukuman mati, maka negara-diminta dapat menolak permintaan tersebut kecuali ada jaminan dari negara-peminta bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan.
7.    Kedaluwarsa, artinya, penyerahan tidak akan dilakukan apabila penuntutan dan pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan.

EKSTRADISI DAN PENDAPAT UMUM (PUBLIC OPINION) MASYARAKAT NASIONAL DAN ATAU INTERNAS1ONAL (Oleh : Agustinus Supriyanto)



Belakangan ini trend atau kecenderungan untuk rnelakukan penyerahan di bawah tangan atas pelaku kejahatan yang berdimensi internasional seperti dikemukakan di atas,, tampaknya semakin meningkat, karena memang lebih efektif dan efisien. Meskipun demikian, penyerahan si pelaku kejahatan dengan melalui lembaga ekstradisipun masih tetap berjalan terus (belum tergeser sama sekali). Hingga kini secara formal memanq belum terdapat garis pembeda pelaku kejahatan yang bagaimanakah yang diserahkan melalui lembaga ekstradisi dan yang diserahkan secara di bawah tangan.
Kalau diamati, ternyata praktek-praktek penyerahan di bawah tangan tersebut ada kaitannya dengan belum atau sudah terbentuknya pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional atas orang/pelaku kejahatan dan atau kejahatannya. Semakin sedikit orang mengetahui si pelaku kejahatan dan atau kejahatannya tersebut, berarti semakin kurangnya sorotan masyarakat terhadapnya. Jadi, terlewatkan dari pengamatan masyarakat. Apalagi jika orang dan atau kejahatannya itu luput dari perhatian dan liputan media massa. Dengan perkataan lain, belum terhentuk pendapat umum (public opinion) atas orang dan atau kejahatannnya itu. Dalam hal inilah, kesempatan untuk melakukan penyerahannya secara di bawah tangan akan sangat besar.
Sebaliknya, jika atas orang dan atau kejahatannya itu telah melahirkan pendapat umurn (public opinion) yang luas, tidak saja dalam tingkat nasional tetapi juga tingkat internasional, misalnya berkat liputan dan publikasi yang gencar dari media massa, ditambah lagi dengan komentar¬-komentar dari masyarakat luas maupun para ahli ataupun para pejabat negara, penyerahan di bawah tangan cenderung untuk dihindari. Dalam hal inilah akan timbul kerinduan atas lembaga hukum yang bernama “ekstradisi” untuk menjembatani negara-negara yang berkepentingan atas kasus tersebut.
Dengan demikian, pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional atas orang dan atau kejahatannya, cukup berpengaruh terhadap praktek negara-negara dalam melakukan penyerahan pelaku kejahatan yang berdimensi internasional, apakah akan dilakukan lewat penyerahan di bawah tangan ataukah melalui lembaga ekstradisi.
Persoalan yang mendasar dapat diajukan adalah, apakah praktek penyerahan di bawah tangan ini –sepanjang dia memiliki dasar hukum yang kuat– akan mendesak dan menggeser kedudukan lembaga ekstradisi yang sebenarnya sudah mapan dan “terhormat” ? Apakah tidak mungkin dilakukan suatu sintesis antara keduanya, sehingga kepentingan umum (negara-negara) maupun kepentingan individu si pelaku kejahatah (hak-¬hak asasi rmanusia) dapat diatur dan dilaksanakan secara selaras ? Untuk menjawab persoalan ini tidaklah bisa hanya dengan ya atau tidak, sebab dibutuhkan pengkajian yang ilmiah dan mendalam.

Setiap kali ada pelaku kejahatan kelas kakap yang menyelamatkan diri melalui lintas batas negara, sebuah pranata hukum yang bernama ekstradisi selalu muncul kepermukaan. Kasus Jusuf Randy. OKI, Hong Lie dan Eddy Tanzil, adalah beberapa kasus di antara sekian banyak kasus yang terjadi selama ini yang telah memunculkan eksistensi dan peranan ekstradisi sebagai pranata hukum yang diharapkan dapat menjangkau pelaku tindak pidana lintas batas negara. Belum lagi terhitung kasus-kasus sejenis yang terjadi di belahan bumi lain.
Akan tetapi, dalam kenyataannya tidaklah mudah untuk mengharapkan peranan pranata hukum yang bernama ekstradisi ini. Hal ini disebabkan karena ekstradisi, seperti halnya hukum pidana, ibarat pisau bermata dua. Pada mata yang satu dia berfungsi sebagai pelindung kepentingan umum, karena dengan melalui ekstradisi si pelaku tindak pidana lintas batas negara diharapkan tidak bisa menghindarkan diri dari tuntutan pidana dari negara yang memiliki yurisdiksi. Sedangkan pada mata yang lain, dia berfungsi melindungi hak-hak asasi individu si pelaku tindak pidana.
Kalau dicermati asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi ini, ternyata perlindungan yang diberikan kepada individu si pelaku tindak pidana jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap kepentingan umum. Asas-asas tentang ekstradisi, seperti asas tindak pidana ganda yang mengharuskan, bahwa tindak pidana yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan oleh negara peminta juga merupakan tindak pidana menurut hukum negara diminta; asas kekhususan yang mengharuskan, bahwa negara peminta hanya boleh mengadili dan memidana orang yang diminta hanya atas tindak pidana yang dijadikan alasan untuk menyerahkannya; asas tidak menyerahkan, warganegara, yang memberikan hak kepada negara-diminta untu menolak penyerahan orang yang diminta jika dia adalah warganegaranya sendiri; asas tidak menyerahkan pelaku tindak pidana politik, yang memberikan hak kepada negara diminta jika menurut pendapatnya tindak pidana yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahannya merupakan tindak pidana politik; dan masih banyak lagi asas yang lainnya, semuanya itu justru sangat membatasi dan mengekang negara-negara dalam mengekstradisikan seorang pelaku tindak pidana lintas batas negara. Bahkan dua negara yang telah terikat pada perjanjian ekstradisipun tidak selalu mudah untuk mengekstradisikan orang yang diminta, apalagi jika belum terikat pada perjanjian ekstradisi. Oleh karena itu sebuah pertanyaan harus dijawab terlebih dahulu, apakah negara-diminta itu tergolong negara yang bersedia mengekstradisikan; orang yang diminta berdasarkan asas timbal balik atau hubungan baik, ataukah tidak ?
Demikian banyak dan ketatnya asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi ini, maka suatu negara sebelum mengajukan permintaan ekstradisi atas seorang pelaku tindak pidana lintas batas negara, harus ekstra hati-hati dan dengan penuh pertimbangan yang matang dalam usaha memenuhi semuanya itu. Itu baru menyangkut kaidah hukum materiilnya saja.
Bagaimana dengan hukum formal yang merupakan tata cara atau prosedur untuk meminta maupun menyerahkannya, jika permintaan itu dikabulkan. Ternyata prosedurnya tidaklah sederhana. Pelbagai instansi pemerintah yang terkait dari kedua negara harus dilibatkan, bahkan kadang-kadang melibatkan pula peranan organisasi internasional seperti INTERPOL. Betapa panjang proses yang harus ditempuh, serta waktu dan biaya yang dihabiskan, hanya untuk meminta satu orang.
Belum lagi faktor politik subyektif yang juga turut berbicara. Misalnya, apakah negara tempatnya bersembunyi tergolong negara yang memang menjadi pelindung bagi para pelaku tindak pidana pelarian lintas batas negara, apakah negara itu tidak akan mengklasifikasikan tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana politak, apakah hubungan diplomatik antara negara peminta itu dengan negara tempatnya bersembunyi dalam keadaan cukup baik ataukah sedang di bawah kondisi normal. Dari semuanya itu, faktor politik subyektif inilah yang pada akhirnya menjadi faktor pemutus dan penentu atas diserahkan atau tidaknya orang yang diminta oleh negara yang diminta.
Sebaliknya, ditinjau dari segi kepentingan individu si pelaku tindak pidana, pembatasan yang sangat banyak dan ketat tersebut, justru merupakan sarana pelindung yang sangat efekiif untuk dapat menghindarkan diri dari permintaan ekstradisi atas dirinya. Bahkan dia dapat berlindung secara sah di balik asas-asas dan kaidah hukum tentang ekstradisi itu sendiri. Misalnya dengan mengajukan pembelaan diri terhadap negara diminta, bahwa tindak pidana yang dijadikan dasar untuk memintanya tergolong tindak pidana politik. Jika diekstradisikan, dia akan diadili dan dihukum berdasarkan tindak pidana politik, ataupun hak asasinya akan diinjak-injak oleh negara peminta, dan pelbagai dalih lainnya yang dipermukaan tampak sah-sah saja, tetapi dibalik itu terkandung maksud untuk menghindarkan diri dari proses ekstradisi itu sendiri.
Disinilah tampak ketidakseimbangan dan berat sebelah dari ekstradisi sebagai pisau bermata dua. Materi muatannya yang mencerminkan perlindungan hak-hak asasi manusia tampak lebih dominan jika dibandingkan dengan perlindungan atas kepentingan umum. Dilihat dari sejarah lahir dan perkembangan ekstradisi sebagai pranata hukum modern, hal jni memang bisa dipahami. Ekstradisi ini tumbuh dan berkembang selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan hak-hak asasi manusia itu sendiri. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika penghormatan atas hak-hak asasi manusia sangat merasuk ke dalam pranata hukum yang bernama ekstradisi.
Dengan semakin menigkatnya, gelombang penghormatan atas hak-¬hak asasi manusia dalam era globalisasi dewasa ini, ekstradisi benar-benar merupakan pranata hukum yang sangat ideal. Bahkan Maje’is Umum PBB, dengan Resolusi Nomor 45/116 tanggal 14 Desember 1990, mengesahkan sebuah Model Treaty on Extradition yang substansinya penuh dengan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, yang semakin mengukuhkan ekstradisi sebagai pranata hukum yang sangat ideal dalam penghormatan atas hak-hak asasi manusia. Namun karena sangat idealnya itu, dalam penerapannya justru semakin tidak mudah. Pada lain pihak, kemajuan iptek sangat memudahkan untuk membawa kembali seorang pelaku tindak pidana lintas batas negara dengan cara yang sangat efisien dan efektif. Kenyataan ini mendorong timbulnya jalan pintas untuk mengembalikan pelaku tindak pidana ke negara yang memiliki yurisdiksi, misalnya dengan "penjemputan", yaitu pihak yang berwenang dari negara yang memiliki yurisdiksi menjemput si pelaku tindak pidana yang telah ditangkap oleh pihak yang berwenang dari negara tempat bersembunyi dan kemudian tanpa banyak formalitas, memberangkatkannya dengan penerbangan langsung ke negaranya. Jalan pintas yang sangat efisien dan efektif inilah yang belakangan semakin berkembang, khususnya atas pelaku tindak pidana lintas batas negara yang tidak sempat mendapat sorotan publik baik nasional maupun internasional. Jalan pintas lain, tetapi sangat vulgar adalah dengan "penculikan", seperti dipraktekkan oleh Amerika Serikat dalam kasus Noriega dan oleh Israel dalam kasus Adolf Eichmann dan terhadap warga Palestina di wilayah beberapa negara Arab.
Praktek semacam ini, tampaknya secara de facto semakin menggeser kedudukan ekstradisi sebagai pranata hukum yang sangat ideal, yang hanya diterapkan terhadap pelaku tindak pidana lintas batas negara yang terlanjur mendapat sorotan publik. Inilah konsekuensi yang harus dipikul oleh suatu pranata hukum yang sangat ideal tetapi berat sebelah.
Sebagai penutup dari tulisan ini, dapatlah dikemukakan beberapa butir simpulan, sebagai berikut.
1.    Di tengah-tengah kemapanan dan “terhormatnya” kedudukan ekstradisi sebagai lembaga hukum internasional maupun nasional, ternyata lembaga ekstradisi ini relatif jarang diterapkan dalam kasus¬-kasus kejahatan yang berdimensi internasional dalam era globalisasi masyarakat internasional dengan kehidupan yang berlangsung dengan cepat, tepat, efisen, dan efektif.
2.    Sebagai penyebab dari jarangnya ditempuh penyerahan pelaku yang kejahatan yang berdimensi internasional melalui lembaga ekstradisi adalah karena ketatnya persyaratan materiil maupun sangat panjang dan birokratisnya persyaratan formalnya. Sedangkan pada lain pihak, kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, sangat memungkinkan (secara fisik dan faktual) untuk melakukan penyerahan pelaku kejahatan semacam itu dengan cepat, tepat, efektif, dan efisien.
3.    Dalam era globalisasi masyarakat internasional dewasa ini, ternyata pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional secara tidak langsung, mendorong timbulnya dua macarn pola penyerahan pelaku kejahatan yang berdimensi internasional, yaitu yang penyerahannya dengan melalui lembaga ekstradisi dan dengan melalui penyerahan di bawah tangan. Pelaku dan atau kejahatan yang telah menimbulkan pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional saja yang cenderung untuk diserahkan dengan melalui lembaga ekstradisi, sedangkan yang tidak atau belum menjadi perhatian atau belum berhasil menimbulkan pendapat urmum masyarakat nasional dan atau internasional, cenderung diserahkan dengan melalui penyerahan di bawah tangan.

PENGUSIRAN DAN PENYERAHAN DI BAWAH TANGAN (Oleh : Agustinus Supriyanto)



Hakekat dari pengusiran atau deportasi dalam hukum internasional adalah pemerintnh suatu negara menyuruh keluor seseorang, dari wilayahnya karena kehadirannya di negara itu tidak dikehendaki. Tentang kemanapun dia pergi adalah merupakan urusannya sendiri. Akan tetapi dalam praktek negara-negara yang terjadi adalah seseorang diusir ke negara asalnya atau negara dimana dia berkewarganegaraan (yang sebenarnya dihindari), yang justru menantikan kedatangannyn untuk ditangkap, ditahan, dituntut, diadili dan atau dihukurn atas kejahatannya yang menjadi yurisdiksi dari negara yang bersangkutan (Kasus Soblen, 1962 dan beberapa kasus lainnya).
Sedangkan dalam hal penyerahan di bawah tangan (istilah ini dari saya, penulis), penyerahan itu adalah oleh badan yang berwenang dari suatu negara kepada badan yang berwenang dari negara lain atas diri seseorang yang sedarng dicari karena tersangkut dalam suatu kejahatan. Badan yang berwenang itu misalnya, kepolisian. Penyerahan semacam ini dilakukan berdasarkan atas kerjasama antara kepolisian negara-negara yang bersangkutan, ataupun kerjasama melalui Internasional Criminal Police Organisation (lCPO/INTERPOL).
Sebagai contoh kasus fiktif, misalnya seorang yang sedang dicari-cari oleh kepolisian Amerika Serikat, ternyata akhirnya ditemukan di Australia. Kepolisian Amerika Serikat menghubungi kepolisian Australia dan meminta bantuannya untuk menangkap dan menahan orang tersebut. Setelah berhasil ditangkap dan ditahan, kepolisian Australia memberitahukan kepada kepolisian Amerika Serikat supaya menjemputnya di suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan di Australia. Dengan dibelikan tiket pesawat sebelumnya, maka orang yang bersangkutan dengan penjagaan dan pengawalan si penjemput kemudian diterbangkan ke Amerika Serikat.
Dengan cara seperti ini, maka dalam tempo yang singkat dan biaya ringan serta tidak birokratis, justru usaha pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang berdimensi internasional menjadi sangat efektif dan efisien jika dibandingkan dengan melalui ekstradisi seperti telah dikemukakan di atas. Akan tetapi pada lain pihak, cara seperti ini sangat mengurangi ¬hak-hak (asasi maupun tidak asasi) dari individu pelaku kejahatan yang diserahkan secara di bawah tangan tersebut.
Hal yang patut dipersoalkan dalam hubungan ini adalah dasar hukum dari penyerahan pelaku kejahatan secara di bawah tangan ini. Jika memang ada dasar hukumnya, misalnya perjanjian kerjasama antar kepolisian dari kedua negara atau kerjasama dalam kerangka ICPO/INTERPOL, apakah perjanjian itu disahkan dan diundangkan dalam hukum nasional negara yang bersangkutan ?
Jika disahkan dan diundangkan dalam bentuk undang-undang, maka dalam kasus penyerahan di bawah tangan tersebut, terdapat dua landasan hukumnya yaitu, pertarna undang-undang tentarng ekstradisi (UU Nomor 1 Tahun 1979) dan' Undang-undang tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan (misalnya, Pilipina, Indonesia, Thailand, Australia) pada satu pihak, dan yang kedua adalah undang-undang tentang pengesahan perjanjian kerjasama Interpol tersebut. Jadi, atas satu kasus akan terdapat dua atau lebih dasar hukumnya dengan derajat yang sama, yaitu undang-undang.
Sebaliknya, jika pengesahan dan pengundangannya dalam bentuk keputusan presiden, maka atas kasus tersebut terdapat dua dasar hukumnya dalam bentuk hukum yang berbeda, yaitu undang-undang pada satu pihak, dan keputusan presiden pada lain pihak, yang tentu saja memiliki derajat yang berbeda (undang-undang lebih tinggi dari pada keputusan presiden). Apalagi jika perjanjian kerjasama melalui ICPO/INTERPOL tersebut sama sekali tidak disahkan dan diundangkan dalarm bentuk hukum apapun juga.
Uraian yang agak panjang tentang dasar hukum seperti tersebut di atas, terkait dengan masalah hak uji materiil, yaitu keabsahan dari keputusan presiden tersebut jika dinilai bertentangan dengam undang-¬undang. Tampaknya, selama ini belum pernah terjadi suatu kasus nyata tentang keabsahan masalah (ekstradisi) seperti tersebut di atas yang menyanykut hak uji materiilnya diajukan ke hadapan badan peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena memang sangat sedikit (kalau tidak mau dikatakan tidak pernah ada) kasus yang diselesaikan dengan melalui prosedur ekstradisi maupun penyerahan di bawah tangan yang diajukan ke hadapan badan peradilan.

EKSTRADISI DALAM PRAKTEK NEGARA-NEGARA (Oleh : Agustinus Supriyanto)



Di tengah-tengah kemapanan dan “terhormatnya” eksistensi ekstradisi sebagai lembaga hukum internasional maupun nasional, sekarang baiklah ditinjau praktek negara-negara dalam kasus-kasus kejahatan yang berkaitan dengan ekstradisi.
Dalam era globalisasi masyarakat internasional dewasa ini yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, sehingga segala sesuatunya berlangsung serba cepat, tidak dapat disangkal bahwa timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional semakin lama semakin bertambah banyak jumlah maupun jenisnya, misalnya kasus OKI dan kasus Nick Leeson: Pada lain pihak, ekstradisi sebagai suatu lembaga hukum yang eksistensinya sudah mapan dan terhormat, memberikan perlindungan yang cukup besar terhadap individu si pelaku kejahatan dengan hak-hak asasinya, serta dengan prosedur atau formalitas yang panjang dan birokratis, yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang cukup besar.
Ini justru tampak menjadi dilema, karena di satu pihak untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang berdirnensi internasionol yang sering kali amat canggih, dibutuhkan kecepatan bertindak, sedangkan pada lain pihak dihadapkan dengan lembaga hukum ekstradisi yang sangat formalisistis dan birokratis.
Pertanyaannya adalah, sejauh manakah ekstradisi ini dilaksanakan secara konsisten dalarm praktek negara-negara? Masih bisakah ekstradisi ini dipandang sebagai sarana yang ampuh dalam pencegahan dan pemberantasan, kejahatan yang berdimensi internasional? Apakah ada upaya hukum lain yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas kejahatan yang berdimensi internasional?
Dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun (tepatnya sembilan tahun 1986-1995), ternyata hanya beberapa kasus saja yang diselesaikan melalui ekstradisi, seperti kasus Andrija Artukovic seorang penjahat perang Nazi Jerman pada waktu Perang Dunia 11, yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Yugoslavia pada tanggal 13 Februari 1986; kasus John Demjanjuk yang juga seorang penjahat perang Nazi Jerman yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Israel pada tanggal 28 Feburari 1986; kasus Sobhraj, seorang warga negara India yang dituduh telah membunuh banyak orang dari pelbagai kewarganegaraan di Thailand pada tahun 1986, yang dimintakan ekstradisinya kepada India oleh negara--negara yang berkepentingan.
Belakangan ini, tepatnya tahun 1995 muncul kasus OKI seorang warganegara Indonesia yang dituduh telah membunuh dua orang warganegara Indonesia dan seorang warganegara Amerika Serikat keturunan India di Los Angeles, Amerika Serikat; dan kasus Nick Leeson yang dituduh oleh Singapura melakukan kejahatan sehingga merugikan Bank Baring Pcl, yang ternyata kemudian melarikan diri ke Jerrman, dan kini sedang diselesaikan proses ekstradisinya oleh kedua negara (Jerman dan Singapura).
Data ini tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai indikasi, bahwa hanya sejumlah inilah terjadinya kasus-kasus kejahatan yang berdimesi internasional selama kurun waktu hampir sepuluh tahun belakangan ini. Meskipun tidak didukung dengan data statistik yang valid, kiranya tidaklah berkelebihan jika dikatakan masih terdapat banyak kejahatan-kejahatan lain yang berdimensi internasional yang tidak diselesaikan melalui lembaga ekstradisi.
Kalau demikian, timbul pertanyaan lagi, melalui prosedur apa penyelesaian kasus-kasus tersebut ? Ternyata dalam praktek negara-negara, berkembang pula suatu cara baru dalam penyerahan pelaku kejahatan yang berdimensi internasional, yaitu melalni cara pengusiran atau deportasi dan “penyerahan di bawah tangan”. Cara ini jauh lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan melalui lembaga ekstradisi.

Hukum Ekstradisi bagian 5 (Oleh : Agustinus Supriyanto)



       Berdasarkan uraian sebelumnya, tampaklah bahwa ekstradisi sudah merupakan lembaga hukum yang sudah mapan dan “terhormat” eksistensinya. Kemapanan dan semakin “terhormatnya” kedudukan lembaga ekstradisi semakin tampak jelas, terutama dengan semakin bertambahnya jumlah dan jenis kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional, yang pengaturannya dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. Dalam konvensi-konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuh puluhan dan sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya. Konvensi-¬konvensi internasional yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi intenasional, misalnya:
1.        Kejahatan perbudakan yang diatur dalarn Slavery Convention 1926, beserta dengan protokol-protokolnya;   
2.    Kejahatan Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atas Prostitusi yang diatur dalam Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others, 1949;
3.    Kejahatan Genocide, yang diatur dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948.
4.    Kejahatan penerbangan, seperti diatur dalam tiga Konvensi, yaitu:
a.    Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (Tokyo Convention, 1963);
b.    Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (The Hague Convention, 1970); and
c.    Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (Montreal Convention, 1571).
5.    Kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara internasional, seperti diatur dalam Convention on the Prevenion and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973;
6.    Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1987;
7.    dan lain-lainnya.
       Perlu dikemukakan, bahwa Konvensi-konvensi yang mengatur atau berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, barulah akan efektif, apabila telah diimplementasikan di dalam hukum atau undang-¬undang pidana nasional masing-masing negara pesertanya (negara-negara yang telah meratifikasinya). Dengan kata lain, hanyalah dengan mentransformasikan substansi konvensi tersebut ke dalam bentuk undang¬-undang pidana nasionallah, maka Konvensi itu bisa efektif. Tanpa ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang pidana nasional maka Konvensi itu tetap tidak efektif, rneskiEmn w.uttu neclnrn itu tclal1 meratifikasinya.
       Sekarang timbul pertanyaan, apa hubungan antara kortvensi-konvensi yang dikutip di atas dengan ekstradisi? Atas pertanyaan ini dapat diberikan jawaban sebagai berikut: Bahwa dengan beralih bentuk menjadi undang¬-undang pidana nasional, maka negara yang bersangkutan akan dapat menjadikan atau memasukkan kejahatan tersebut sebagai salah satu jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengekstradisikan si pelakunya, dengan mencantumkannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi antara negara-negara peserta dari konvensi tersebut.
       Sekarang baiklah dilihat sepintas Konvensi-Konvensi tersebut di atas dengan melihat angka tahun kelahirannya dalarn hubungannya dengan lembaga ekstradisi.
       Konvensi-konvensi yang dibuat sebelum tahun enam puluhan, ternyata tidak ada satupun yang menyinggung tentang dapat atau tidaknya kejahatan yang diatur dalam Konvensi, itu sebagai alasan untuk mengekstradisikan pelakunya. Jadi, apakah negara-negara peserta pada Konvensi itu akan memasukkannya sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk mengekstradisikan pelakunya ataukah tidak sepenuhnya tergantung pada negara-negara yang bersangkutan. Hanya Konvensi tentang Genocide 1948 menegaskan, bahwa kejahatan genocide dan kejahatan lain seperti disebutkan dalam pasal III Konvensi, tidak dianggap sebagai kejahatan politik untuk maksud dan tujuan ekstradisi.
       Sedangkan konvensi-konvensi yang lahir atau dibuat setelah tahun tujuh puluhan menunjukkan sikap yang lebih tegas dalam hubungannya dengan ekstradisi. Dalam salah satu pasalnya ditegaskan bahwa kejahatan yang tersebut dalam Konvensi ini digolongkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk mengekstradisikan pelakunya (extraditable crime), dengan mencantumkannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi antara negara-negara peserta Konvensi. Atau jika antara para pihak belum terikat pada suatu perjanjian ekstradisi, maka Konvensi ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengekstradisikan pelaku kejahatan tersebut.
       Dewasa ini, memang sudah umum dapat dijumpai dalam setiap Konvensi yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, suatu penegasan tentang kedudukan Konvensi tersebut sebagai dasar hukum untuk melakukan ekstradisi atas si pelakunya. Dengan adanya penegasan semacam ini dalam setiap konvensi yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, maka tampaklah bahwa ekstradisi mengalami perluasan jangkauan berlakunya, yaitu di samping terdapat dalam bentuk perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi, juga dalam perjanjian atau konvensi yang mengatur tent ang kejahatan yang berdimensi internasional.
       Hal ini juga menunjukkan, betapa masyarakat internasional telah menaruh harapan yang cukup besar kepada lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebagai salah satu sarana dalam pencegahan dan pemberatasan kejahatan pada umumnya, kejahatan yang berdimensi internasional pada khususnya. Selain daripada itu, juga menunjukkan semakin bertambah mapan dan terhormatnya kedudukan lembaga ekstradisi ini dalam era globalisasi masyarakat internasional.

Hukum Ekstradisi bagian 4 (Oleh : Agustinus Supriyanto)



       Dari asas-asas dan ketentuan-ketentuan tentang ekstradisi tersebut, secara jelas dan mudah dapat disimpulkan bahwa lembaga ekstradisi ini memberikan perlindungan yang cukup besar kepada individu atau orang yang diminta dengan hak-hak asasinya. Sangat ketatnya persyaratan materiil dan sangat banyak dan birokrasinya persyaratan formal atau prosedurnya, ternyata lebih banyak memberikan keuntungan atau keringanan kepada individu atau orang yang diminta.
       Jika dihubungkan dengan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, ekstradisi ini merupakan lembaga hukum yang dapat dikatakan memberikan perlindungan yang cukup besar bahkan tampak berlebihan atas hak-hak asasi manusia. Pada hal orang yang diminta itu sebenarnya justru telah membikin repot dan susah negara-negara yang bersangkutan, bahkan dalam beberapa kasus kejahatannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan sangat bertentangan dengan rasa keadilan umat manusia.
       Besarnya perlindungan yang diberikan oleh lembaga ekstradisi kepada hak-hak asasi manusia, sebenarnya tidak terlepas dari sejarah lahir dan perkembangan ekstradisi dalam pengertian modern, yang ternyata hampir bersamaan dengan lahir dan perkembangan hak-hak asasi manusia sebagai konsep hukum maupun politik, yaitu sekitar abad ke ¬17, 18, 19, hingga abad ke-20an ini. Sebagai lembaga hukum yang pada mulanya lahir di kalangan negara-negara maju yang telah memiliki tradisi penghormatan atas hak-hak asasi manusia, dapat dipahami, bahwa ekstradisi semakin banyak dimasuki materi muatan berupa penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia.
       Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti dewnsa ini, dimana isyu hak-hak asasi manusia kini sudah merupakan isyu global, tentu saja lembaga ekstradisi yang penuh dengan materi muatan hak-¬hak asasi manusia akan mendapat tempat dan kedudukan yang semakin terhormat. Lembaga ekstradisipun kini telah menjadi sarana dan bahkan sebagai bagian dari penegakan hak-hak asasi manusia. Jadi, ekstradisi tidak lagi hanya sekedar sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang berdimensi internasional.

21 Jan 2010

Nenek Moyang Eropa dari Timur Tengah?

Washington (ANTARA News/Reuters) - Para penakluk yang menyebarkan benih mereka di seluruh Eropa pada jaman dulu adalah petani makmur yang mengimpor keterampilan mereka dari Timur Tengah, kata beberapa peneliti pekan ini.

Satu studi mengenai kromosom Y --yang dengan peluang sangat kecil diwariskan dari ayah ke anak-- menunjukkan bahwa para pria Eropa adalah keturunan dari penduduk yang berpindah ke Eropa 10.000 tahun lalu dari Segi Tiga Subur" --yang membentang dari Mesir ke seluruh Timur Tengah sampai Irak saat ini.

"Barangkali, saat itu, tampaknya lebih menarik untuk menjadi petani," kara Dr. Patricia Balaresque dari Univesity of Leicester, Inggris, dalam satu pernyataan.

Para peneliti tersebut mempelajari DNA dari 2.574 orang dari seluruh Eropa, dan melaporkan di jurnal Public Library of Science, PLoS Biology, yang tersedia dengan alamat http://www.plosbiology.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pbio.1000285.

Karena kromosom Y berubah sangat sedikit dari satu generasi ke generasi berikutnya, maka semua perubahan dapat dicatat dengan mengukut mutasi genetika secara acak.

"Jam molekul" itu memberi gambaran mengenai penyebaran genetika di seluruh Eropa dari Timur Tengah, tempat pertanian berasal.

"Kami memusatkan perhatian pada garis keturunan kromosom Y yang paling umum di Eropa, yang dibawa oleh sebanyak 110 juta pria," kata Balaresque.

"Itu mengikuti satu alur dari tenggara ke barat-laut, dan mencapai hampir 100 persen frekuensi di Irlandia. Kami meneliti bagaimana garis keturunan terbagi, seberapa beragam garis tersebut di berbagai tempat yang berbeda di Eropa, dan seberapa tua garis itu," katanya.

Lebih dari 80 persen kromosom Y Eropa tampaknya telah bersumber dari Timur Tengah.

Beberapa studi terpisah mengenai DNA mitochondrial, yang diwarisi nyaris tak tersentuh dari ibu ke anak perempuan, menunjukkan kebanyakan perempuan adalah keturunan dari para pemburu yang mendominasi Eropa selatan setelah Jaman Es.

Satu studi yang disiarkan pada 2003 mendapati bahwa 1 dari 12 pria di Asdia membawa satu versi kromosom Y yang berasal dari Mongolia hampir 1.000 tahun lalu --dan beberapa peneliti mengatakan kromosom tersebut tampaknya disebarkan oleh penggembala Mongol yang melakukan penaklukan.

Temuan itu menunjukkan suatu pencampuran yang menarik yang berlangsung di Eropa pada jaman awal dan patut mendapat penelitian genetika lebih lanjut, kata Balaresque.

"Buat kami, ini menunjukkan keuntungan reproduksi bagi pria petani dibandingkan dengan pria pemburu dari suku asli selama peralihan dari perburuan dan pertemuan, ke pertanian," katanya.(*)

Iran Hukum Aktivis Mahasiswa 8 Tahun





Teheran (ANTARA News/AFP) - Iran menjatuhkan hukuman penjara lebih dari delapan tahun pada seorang aktivis mahasiswa ternama atas tuduhan melawan keamanan dan menghina para pemimpin republik Islam, kata pengacaranya, Rabu.

Majid Tavakoli ditangkap pada 7 Desember selama protes anti-pemerintah di kampus pada peringatan tahunan Hari Pelajar.

Kantor berita resmi IRNA mengatakan, Tavakoli berusaha meninggalkan Universitas Amir Kabir, Teheran, dengan "menyamar sebagai wanita", yang menyulut kampanye dunia maya oleh para pendukung pria oposisi yang memakai kain penutup kepala sebagai solidaritas dan menyerukan pembebasannya. selengkapnya..

Rusia Bantah Perkuat Armada Baltik



Moskow (ANTARA News/Reuters) - Kementerian pertahanan Rusia, Kamis membantah bahwa pihaknya berencana akan memperkuat armada Baltiknya untuk menanggapi rencana-rencana Amerika Serikat menggelar rudal-rudal Patriot di Polandia, menyusul sebuah laporan oleh kantor berita negara itu RIA.

Amerika Serikat akan mengirim rudal-rudal itu ke Polandia setelah membatalkan satu rencana sebelumnya -- yang ditentang keras oleh Rusia-- untuk menggelar rudal-rudal penyergap di negara anggota NATO (pakta pertahanan Atlantik utara) sebagai bagian dari satu sistem anti rudal di Eropa. selengkapnya..

ICW Sesalkan Robert Tidak Dikenai UU Tipikor





Jakarta (ANTARA News) - Indonesian Corruption Watch (ICW) menyesalkan sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyatakan Robert Tantular tidak bisa dikenakan UU Tipikor.

"Pasalnya kredibilitas kejagung yang kami ragukan untuk menangani kasus Robert Tantular (Century)," kata kata peneliti ICW, Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.

Ia menambahkan jangankan Century, kasus korupsi Gubernur Bengkulu dan mantan Walikota Bukittinggi yang sekarang menjadi anggota DPR RI Komisi II saja, kejaksaan terkesan tidak berdaya.

"Sehingga lebih baik kejaksaan fokus melakukan tugas penuntutan pidana umum, janganlah memperkeruh penanganan Century saat ini," katanya.

Sebelumnya, Kejagung menyatakan Robert Tantular tidak bisa dikenakan lagi Undang- Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi karena sebelumnya sudah dijerat dengan Undang-Undang (UU) Perbankan. selengkapnya..

Pembobolan Uang Nasabah Capai Setengah Miliar Lebih




Pembobolan Uang Nasabah Capai Setengah Miliar Lebih
Denpasar (ANTARA News) - Jumlah uang nasabah beberapa bank yang menjadi korban pembobolan melalui ATM di Bali, telah mencapai lebih dari setengah miliar rupiah, kata Kapoltabes Denpasar Kombes Pol Gede Alit Widana ketika ditemui ANTARA di Denpasar, Kamis.

"Dari 15 korban yang lapor, total dana yang disebutkan telah `disedot` penjahat mencapai lebih dari Rp500 juta," ucapnya.

Ia mengatakan, dari hasil penyelidikan awal, kasus tersebut merupakan aksi pembobolan dana melalui ATM pada sejumlah bank di Bali. selengkapnya..

20 Jan 2010

Hukum Ekstradisi bagian 3 (Oleh : Agustinus Supriyanto)

ASAS-ASAS EKSTRADISI
Untuk lebih mengenali tentang lembaga ekstradisi secara lebih jelas, di bawah ini diuraikan secara singkat beberapa asas dari ekstradisi ini. Semua asas ini secara akumulatif, di samping ketentuan-ketentuan tentang ekstradisi yang lainnya, harus dipenuhi, jika dua negara atau lebih menghadapi kasus tentang ekstradisi. Asas-asas tersebut, antara lain adalah:
(1)    Asas Kejahatan Ganda (double criminality principle). Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum negara-peminta maupun hukum negara-¬diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing negara itu berbeda-beda. Sudah cukup jika hukum kedua negara sama-sama mengklasifikasikan kejahatan itu sebagai kejahatan atau tindak pidana.
(2)    Asas Kekhususan (principle of speciality). Apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk merninta ekstradisinya.
(3)    Asas tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (non-¬extradition of political criminal). Jika negara-diminta berpendapat, bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara¬-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut dengan kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam praktek negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan pokok ataukah tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat. subyektif.
Karena sukarnya menentukan kriteria obyektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik dalam perjanjian ataupun dalam perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi.
(4)    Asas tidak Menyerahkan Warga Negara (non-extradition of nationals). Jika orang yang diminta ternyata adalah warga negara dari negara-diminta, maka negara-diminta "dapat" menolak pemintaan dari negara-peminta. Asas ini berlandaskan pada pernikiran, bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika negara-diminta menolak permintaan negara-peminta, negara-dirninta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri.
(5)    Asas non bis in idem atau ne bis in idem. Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, maka permintaan negara-peminta harus ditolak oleh negara-diminta.
(6)    Asas daluwarsa, yaitu permintaan negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluwarsa menurut hukum dari salah satu atau kedua pihak.
Selain daripada asas-asas tersebut di atas, terdapat pula ketentuan¬-ketentuan yang belum atau tidak merupakan asas ekstradisi, tetapi secara umum (meskipun ada pengecualiannya) dicantumkan di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan ekstradisi nasional negara¬-negara. Ketentuan-ketentuan tersebut, misalnya:
1.    Tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati
Di dalam perjanjian internasional ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi, terdapat suatu pasal yang mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati dengan menyatakan, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta diancam dengan hukuman mati menurut hukum negara-peminta tetapi tidak diancam hukuman mati menurut hukum negara-dirninta, atau hukuman mati biasanya tidak dilaksanakan di negara-diminta, maka permintaan ekstradisi itu dapat ditolak, kecuali jika negara-peminta memberikan jaminan yang dipandang cukup, bahwa hukuman mati tidak nkan diacamkan ataupun tidak akan dilaksanakan.
Dengan adanya ketentuan seperti ini, maka orang yang diminta benar¬-benar menikmati keuntungan yang tak ternilai, karena jiwanya terselamatkan dari ancaman ataupun pelaksanaan hukuman mati. Adanya ketentuan ini dilatarbelakangi oleh terdapatnya praktek negara-negara yang berbeda-berbeda tentang hukuman mati ini, baik antara negara-negara yang menganut hukuman mati pada satu pihak dengan negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati pada lain pihak, maupun antara sesama negara-negara yang masih menganut hukuman mati, khususnya dalam pelaksanaan hukuman mati itu sendiri. Sudah tentu pula masuknya ketentuan ini di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi, disebabkan karena gencarnya pengaruh dari paham penghormatan atas hak-hak asasi manusia yang memandang hukuman mati sebagai tidak manusiawi atau bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
2.    Tentang permintaan dari dua negara atau lebih
Dalam praktek kadang-kadang terjadi dua negara atau lebih mengajukan permintaan ekstradisi atas diri seorang yang diminta kepada negara-diminta. Dalam hal seperti ini, negara-diminta dalam mengmbil keputusan untuk memenuhi permintaan dari salah satu negara-peminta tersebut, dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain tentang waktu pengajuan permintaan (permintaan negara manakah yang diterima paling dahulu), berat ringannya kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi, kewarganegaraan dari orang yang diminta, tempat dilakukannya kejahatan, ada atau tidaknya perjanjian ekstradisi antara negara-diminta dengan negara-negara peminta, dan ketentuan-ketentuan lain dari peraturan perundang-undangan maupun perjanjian ekstradisi tersebut.
3.    Tentang permohonan untuk menahan sementara
Apabila negara-peminta mengajukan pemohonan untuk melakukan penahanan sementara atas diri orang yang diminta, permohonan itu harus diajukan sesuai dengan prosedur yang ditentukan di dalam perjanjian ekstradisi itu sendiri (kalau ada), atau diajukan sesuai dengan praktek yang sudah umum berlaku (jika antara para pihak belum terikat pada perjanjian ekstradisi). Demikian pula jika negara-peminta dalam mengambil keputusan untuk mengabulkan ataupun menolak permohonan tersebut, harus berdasarkan pada ketentuan yang sama dan di samping itu juga dengan tetap berdasarkan pada ketentuan hukum nasionalnya sendiri.
4.    Tentang tempat dilakukannya kejahatan
Dalam beberapa perjanjian ekstradisi ada ketentuan yang menegaskan tentang tempat atau wilayah dilakukannya kejahatan, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan atas diri orang yang diminta, ternyata dilakukan di wilayahnya atau di suatu tempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian, maka negara-diminta “dapat” menolak permintaan negara-peminta tersebut. Hal ini berkaitan dengan yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu negara yang memang diakui dalam hukum internasional, atau berkaitan dengan asas/prinsip teritorialitas dalam hukum pidana nasional. Jika negara yang bersangkutan menolak permintaan ekstradisi dari negara-peminta, negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum sendiri orang yang diminta itu berdasarkan hukum nasionalnya.


Hukum Ekstradisi bagian 2 (Oleh : Agustinus Supriyanto)

PENGATURAN TENTANG EKSTRADISI DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL.

Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat pada lebih dari satu negara, ataupun yang pelakunya lebih dari satu orang dan berada terpencar di lebih dari satu negara. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan--kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional, atau kejahatan transnasional, bahkan ada pula yang menyebut kejahatan internasional.
Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti sekarang ini dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional ini akan semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendiri-sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara bilateral maupun multilateral.
Salah satu lembaga hukum yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional, lembaga ekstradisi juga muncul ke permukaan, seolah-olah ekstradisi ini sebagai lembaga hukum yang ampuh untuk menyelesaikannya.
Akan tetapi, apakah dalam kenyataannya memang benar demikian ? untuk itu baiklah ditinjau sepintas apa sebenarnya lembaga ekstradisi ini dan sejauhmanakah dia memang benar-benar berfungsi sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang berdimensi internasional. Selanjutnya perlu pula ditinjau kecenderungan masyarakat internasional atau negara-negara baik dalam pembuatan perjanjian¬-perjanjian ekstradisi ataupun perjanjian lain yang erat kaitannya dengan ekstradisi, dan pada akhirnya yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimnana praktek negara-negara dalam menghadapi kasus-kasus mengenai ekstradisi.

Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk¬-bentuk hukum yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasionnl bilateral, multilateral regional, maupun berbentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara. Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang model Treaty on Extradotion, yang walaupun hanya berupa model hukum saja, jadi belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai model oleh negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini.
Meskipun sudah terdapat banyak perjanjian-perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semuanya itu menganut asas-asas dan kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan dalam prakteknya, ada negara¬-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua negara itu belum terikat pada perjanjian ekstradisi atau mungkin juga belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus ekstradisi tersebut, mereka berpegangan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar negara¬-negara di dunia.
Oleh karena itulah lembaga ekstradisi ini sudah diakui atau diterima oleh para sarjana hukum internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hal ini memang bisa dipahami, karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. Sebuah Perjanjian Perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Raja Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 S.M yang salah satu isinya adalah berupa kesediaan para pihak untuk saling menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lainnya, dipandang sebagai embrio dari lembaga hukum ekstradisi ini. Akan tetapi, perjanjian, ekstradisi dalam pengertian modern seperti dikenal sekarang ini, barulah muncul pada auad ke-17, yang dipengaruhi oleh Revolusi Perancis dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia.

Hukum Ekstradisi bagian 1 (Oleh : Agustinus Supriyanto)

SUBSTANSl DAN RUANG LINGKUP DARI EKSTRADISI
     Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara-diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara-peminta), atas permintaan dari negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.
     Dari rumusan singkat tentang ekstradisi tersebut, maka dapatlah ditarik beberapa unsurnya yaitu:
1.    Unsur subyek, yaitu negara-diminta dan negara/negara-negara peminta;
2.    Unsur obyek, yaitu orang yang diminta, yang bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum;
3.    Unsur prosedur atau tata cara, yaitu harus dilakukan menurut prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu dan ;
4.    Unsur tujuan, yaitu untuk tujuan mengadili dan atau penghukumannya.
     Di antara keempat unsur tersehut yang patut disoroti disini adalah unsur nomor 3 yaitu unsur prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu. Di atas sudah dikemukakan, bahwa untuk dapat dilakukan penyerahan atau ekstradisi atas orang yang diminta, terlebih dahulu harus ada permintaan untuk menyerahkan orang yang bersangkutan dari negara-¬perninta kepada negara-diminta. Tanpa adanya permintaan terlebih dahulu dari negara-peminta kepada negara tempat orang yang bersangkutan berada (negara-diminta), maka negara yang belakangan ini tidak boleh menyerahkan orang yang bersangkutan.
     Permintaan untuk menyerahkan itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik. Demikian pula jika negara-diminta menyetujui atau menolak permintaan negara-perintah harus memberitahukannya kepada negara¬-peminta dengan melalui saluran diplomatik. Mengenai keputusan untuk mengabulkan ataupun menolak permintaan dari negara-peminta, pejabat tinggi dari negara-diminta seperti misalnya Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Kehakiman, maupun Menteri Luar Negeri ikut terlibat dalam memberikan pertimbangan-pertirnbangan, untuk pada akhirnya diambil keputusan oleh pejabat yang berwenang dari negara-diminta.

     Sangat boleh jadi, bahwa suatu kasus tentang ekstradisi, jauh sebelumnya juga sudah melibatkan penegak-penegak hukum dalam tingkatan yang lebih rendah, misalnya pada waktu penangkapan, penahanan, pengawalan atas keamanannya, dan lain-lain. Hal ini berarti bahwa masalah ekstradisi ini merupakan masalah negara dan antar negara. Sebagai masalah internal dari negara, maka pelaksanaannya harus rmenurut. Hukum atau perundang-undangan nasional negara tentang ekstradisi maupun peraturan perundang-undangan nasional lainnya yang terkait, seperti hukum acara pidana. Sedangkan sebagai masalah antar negara, pelaksanaannya harus dengan berdasarkan pada perjanjian- perjanjian internasional ataupun hukum kebiasaan internasional tentang ekstradisi.
     Sebagai masalah interen-negara dan antar negara, maka keputusan nntuk menyerahkan atau menolak permintaan ekstradisi atas seseorang yang diminta, tentu saja ada pada pejabat tinggi negara yang berwenang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama negara dalam dalam masalah¬-masalah hubungan internasional. Jika orang yang diminta itu diputuskan untuk diserahkan oleh negara diminta kepada negara-peminta penyerahannyapun juga harus mengikuti prosedur atau tata cara tertentu. Misalnya, dimana dan kapan orang yang bersangkutan akan diserahkan, kendaraan yang digunakan, barang apa saja yang turut diserahkan, serta berita acara penyerahannya, dan lain-lainnya.


Hukum Perdata

HUKUM PERDATA

()

A. Pengantar Hukum Perdata

1. Pengertian Hukum Perdata

Hukum Perdata di Indonesia berasal dari bahasa Belanda yaitu Burgerlijk Recht, bersumber pada Burgerlik Wetboek (B.W), yang di Indonesia di kenal dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hukum Perdata Indonesia yang bersumber pada KUH Perdata ialah Hukum Perdata tertulis yang sudah dikodifikasikan pada tanggal 1 Mei 1848. Dalam perkembangannya banyak Hukum Perdata yang pengaturannya berada di luar KUH Perdata, yaitu di berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat setelah adanya pengkodifikasian.

Menurut Prof. Subekti pengertian Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Selanjutnya menurut beliau, perkataan Hukum Perdata adakalanya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan dari Hukum Dagang. Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, Hukum Perdata adalah keseluruhan peraturan yang mempelajari hubungan antara orang yang satu dengan lainnya dalam hubungan keluarga dan dalam pergaulan masyarakat. Dalam hubungan keluarga melahirkan Hukum Tentang Orang dan Hukum Keluarga, sedangkan dalam pergaulan masyarakat melahirkan Hukum Benda dan Hukum Perikatan. Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, maka ada beberapa unsur dari pengertian Hukum Perdata yaitu adanya peraturan hukum, hubungan hukum dan orang. Peraturan hukum artinya serangkaian ketentuan mengenai ketertiban baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum, yaitu hubungan yang dapat melahirkan hak dan kewajiban antara orang yang mengadakan hubungan tersebut. Orang (persoon) adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban ini dapat berupa manusia pribadi maupun badan hukum.

2. Luas Lapangan Hukum Perdata Materiil

Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hukum Perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat itu disebut hukum perdata materiil, sedangkan hukum perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu disebut hukum perdata formal atau hukum acara perdata.

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian hukum perdata materiil pertama kali menentukan dan mengatur siapa yang dimaksud dengan orang sebagai pendukung hak dan kewajiban. Oleh karena itulah maka muncul Hukum tentang Orang.

Manusia yang diciptakan oleh Tuhan berjenis kelamin pria dan wanita, maka sesuai dengan kodratnya mereka akan hidup berpasang-pasangan antara pria dan wanita. Hidup berpasang-pasangan tersebut diikat dengan tali perkawinan, yang kemudian dalam hubungan tersebut dapat melahirkan anak, akibatnya ada hubungan antara orang tua dengan anaknya. Dalam hubungan yang demikian ini maka lahirlah Hukum Keluarga.

Manusia sebagai makhluk social tentu saja mempunyai kepentingan/kebutuhan, dan kepentingan/kebutuhan itu hanya dapat terpenuhi apabila manusia itu mengadakan interaksi dengan manusia lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya tersebut manusia mengadakan hubungan hukum dalam bentuk perjanjian-perjanjian seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain sebagainya. Dalam hubungan yang demikian itulah maka akan melahirkan Hukum Benda dan Hukum Perikatan, yang tergabung dalam Hukum Harta Kekayaan.

Sudah kodratnya manusia tidak dapat hidup abadi di dunia ini, pada saatnya mereka itu akan meninggal dunia, akan meninggalkan semua yang dimilikinya termasuk anak keturunan dan harta bendanya. Oleh karena itu harus ada yang mengatur mengenai harta benda yang ditinggalkan dan siapa yang berhak untuk menerimanya, maka lahirlah Hukum Waris.

Berdasarkan uraian di atas, maka Hukum Perdata Materiil itu mengatur persoalan-persoalan keperdataan berdasarkan siklus hidup manusia, yaitu:

a. Hukum tentang Orang (personenrecht);

b. Hukum Keluarga (familierecht);

c. Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht);

d. Hukum Waris (erfrecht).

B. Hukum Tentang Orang

1. Subjek hukum

Pengertian subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Jadi subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Di dalam lalu lintas hukum, yang dimaksud dengan subyek hukum adalah orang (persoon), yang dibedakan menjadi manusia pribadi (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechtpersoon).

a. Manusia pribadi

Pengakuan manusia pribadi sebagai subjek hukum pada umumnya dimulai sejak dilahirkan, perkecualiannya dapat dilihat pada Pasal 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki. Mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada.

Semua manusia pada saat ini merupakan subjek hukum, pada masa dahulu tidak semua manusia itu sebagai subjek hukum hal ini ditandai dengan adanya perbudakan. Beberapa ketentuan yang melarang perbudakan dapat dilihat dalam Magna Charta, Bill of Right. Di Indonesia terlihat dalam Pasal 27 UUD 1945, Pasal 7(1) KRIS 1949 dan Pasal 7 (1) UUDS, Pasal 10 KRIS dan Pasal 10 UUDS.

Tidak semua manusia pribadi dapat menjalankan sendiri hak-haknya. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa pada dasarnya semua orang cakap kecuali oleh UU dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang dinyatakan tidak cakap menurut UU adalah : orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampunan serta perempuan yang telah kawin. Selanjutnya menurut Pasal 330 KUH Perdata ditentukan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun atau belum menikah. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut ketentuan Pasal 433 dan Pasal 434 KUH Perdata adalah orang yang senantiasa berada dalam keadaan keborosan, lemah pikiran dan kekurangan daya berpikir seperti sakit ingatan, dungu, dungu disertai dengan mengamuk. Sementara itu untuk perempuan yang telah kawin, sejak dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka kedudukannya sama dengan suaminya, artinya cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan.

Berakhirnya status manusia sebagai subjek hukum adalah pada saat meninggal dunia. Dulu ada kematian perdata sekarang tidak ada. Pasal 3 KUHPerdata menyatakan bahwa tidak ada satu hukumanpun yang mengakibatkan kematian perdata.

b. Badan hukum

Badan hukum adalah perkumpulan/organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti manusia sebagai pengemban hak dan kewajiban atau organisasi/kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Menurut ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata ada tiga macam klasifikasi badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu:

1) Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, seperti badan pemerintahan, perusahaan Negara;

2) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah seperti Perseroan Terbatas, Koperasi;

3) Badan hukum yang diperbolehkan atau badan hukum untuk tujuan tertentu yang bersifat idiil seperti yayasan.

Selanjutnya berdasarkan wewenang yang diberikan kepada badan hukum, maka badan hukum juga dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:

1) Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah dan diberi wewenang menurut hukum publik, seperti departemen, provinsi, lembaga-lembaga Negara;

2) Badan hukum privat, yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah atau swasta dan diberi wewenang menurut hukum perdata.

Dalam Hukum Perdata tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat materiil pembentukan badan hukum. Biasanya yang ditentukan adalah syarat formal, yaitu dengan akta notaries. Berdasarkan doktrin ada beberapa syarat materiil yang harus dipenuhi dalam pembentukan badan hukum yaitu:

1) Ada harta kekayaan terpisah;

2) Mempunyai tujuan tertentu;

3) Mempunyai kepentingan sendiri;

4) Ada organisasi teratur.

Prosedur pembentukan badan hukum dapat dilakukan dengan perjanjian atau dapat pula dilakukan dengan Undang-Undang. Pada badan hukum yang dibentuk dengan perjanjian, status badan hukum itu diakui oleh pemrintah melalui pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian. Anggaran Dasar itu adalah kesepakatan yang dibuat oleh para pendirinya. Pada badan hukum yang dibuat dengan undang-undang, status badan hukum itu ditetapkan oleh undang-undang itu sendiri.

Di dalam literatur hukum, ada beberapa teori untuk menentukan bahwa suatu lembaga itu merupakan sebuah badan hukum, yaitu:

a) Teori Fiksi (Von Savigny)

Teori ini menyatakana bahwa badan hukum itu hanya fictie atau dianggap seolah-olah manusia.

b) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Brinz)

Hak-hak dari badan hukum sebenarnya hak-hak yang tidak ada yang mempunyai dan sebagai penggantinya adalah suatu kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan

c) Teori Organ (Otto Von Gierke)

Teori ini menyatakan bahwa badan hukum sunguh-sunguh merupakan kepribadian yang ada ialah sebagai organisme yang bisa menyatakan kehendaknya dengan perantaraan alat perlengkapan.

d) Teori Propieto Collective (Planiol)

Teori ini menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari perhimpunan sesungguhnya hak dan kewajiban anggotanya bersama-sama, sedangkan badan hukum adalah suatu kontruksi yuridis saja.

Berakhirnya badan hukum memiliki status sebagai subjek hukum adalah sejak badan hukum tersebut dibubarkan secara yuridis.

2. Perwalian

Dalam perwalian berlaku asas tidak dapat dibagi-bagi, artinya pada tiap-tiap perwalian itu hanya ada satu wali (Pasal 333 KUH Perdata). Terhadap asas tersebut ada perkecualiannya yaitu apabilaperwalian itu dilakukan oleh Ibu sebagai orang tua yang hidup terlama, maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi wali peserta; serta apabila ditunjuk pelaksana pengurusan barang milik anak yang belum dewasa di luar Indonesia.

Di dalam KUH Perdata ditentukan ada beberapa macam macam perwalian, yaitu:

a) Perwalian oleh suami isteri yang hidup terlama

Berdasarkan ketentuan Pasal 345 KUH Perdata, apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekedar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua.

b) Perwalian dengan surat wasiat atau akta

Masing-masing orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, atau wali bagi seorang anaknya atau lebih, berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum atau karena penetapan hakim tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain. Pengangkatan dilakukan dengan wasiat, atau dengan akta notaris yang dibuat untuk keperluan itu semata-mata. Dalam hal ini boleh juga beberapa orang diangkatnya, yang mana menurut nomor urut pengangkatan mereka, orang yang kemudian disebutnya akan menjadi wali, apabila orang yang disebut sebelumnya tidak ada (Pasal 355 KUH Perdata).

c) Perwalian oleh hakim

Bagi sekalian anak belum dewasa, yang tidak bernaung di bawah kekuasaan orang tua, dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda. Apabila pengangkatan itu diperlukan berdasarkan ketidakmampuan untuk sementara waktu melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, maka oleh Pengadilan dingakat wali untuk selama waktu ketidakmampuan itu ada. Apabila pengangkatan itu diperlukan karena ada atau tak adanya si bapak atau si ibu tak diketahui, atau karena tempat tinggal mereka tidak diketahui, maka oleh Pengadilan juga diangkat seorang wali.

Mengingat adanya beberapa latar belakang diangkatnya wali, maka ada perbedaan saat mulainya perwalian antara yang satu dengan lainnya, yaitu:

a) Wali menurut Undang-Undang mulai pada saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian, yaitu meninggalnya salah satu orang tua;

b) Wali yang diangkat oleh orang tua dengan wasiat mulai pada saat orang tua mati dan sesudah wali menyatakan menerima;

c) Wali yang diangkat oleh hakim mulai pada saat pengakatan apabila wali hadir pada saat pembacaan di muka siding pengadilan, jika tidak hadir mulai setelah putusan hakim diberitahukan kepada wali.

Setelah adanya wali, baik karena UU, karena pengangkatan orang tua ataupun karena penetapan pengadilan, maka wali mempunyai kewajiban sebagai berikut:

a) Memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan;

b) Mengadakan inventarisasi atas harta kekayaan dari anak yang berada di bawah perwaliannya;

c) Mengadakan jaminan;

d) Menentukan pengeluaran;

e) Membuat catatan dan laporan.

Berakhirnya perwalian dapat disebabkan karena kondisi si anak yang berubah ataupun kondisi wali yang mengalami perubahan, yaitu sebagai berikut:

a) Dalam hubungan dengan keadaan anak:

(1) anak menjadi meerderjarig;

(2) matinya di anak;

(3) timbulnya kembali kekuasaan orang tua;

(4) pengesahan seorang anak luar kawin yang diakui.

b) Dalam hubungan dengan tugas wali:

(1) ada pemecatan atau pembebasan diri wali;

(2) ada alasan pemecatan, yaitu wali berkelakuan buruk, wali menyalahgunakan kekuasaan, wali berada dalam keadaan pailit dan wali dijatuhi pidana.

3. Pengampuan

Pasal 433 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, meskipun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka alasan pengampuan adalah keborosan, lemah pikiran, dan kekurangan daya pikir

Cara untuk menetapkan pengapuan adalah dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuannya bertempat tinggal. Selanjutnya yang dapat mengajukan permohonan adalah:

a) Bagi yang kurang daya pikir adalah setiap keluarga sedarah dan suami atau isteri serta Jaksa demi kepentingan umum;

b) Bagi yang lemah pikiran adalah orangnya sendiri;

c) Bagi keborosan adalah keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh sanak keluarga dalam garis menyimpang sampai derajat ke empat dan suami atau isteri.

Pengampuan mulai berjalan terhitung semenjak putusan pengadilan diucapkan. Segala tindakan perdata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang ditaruh di bawah pengampuan (kurandus) adalah demi hukum batal. Selanjutnya berakhirnya pengampuan terjadi apabila:

a) Bagi kurandus adalah dengan matinya, hapusnya serta berhentinya sebab-sebab pengampuan, dan harus dilakukan dengan putusan pengadilan;

b) Bagi kurator, ada pemecatan atau pembebasan sebagai pengampu serta apa yang ditentukan dalam Pasal 459 KUHPerdata bahwa seseorang tidak dapat dipaksakan untuk menjadi kurator selama lebih dari delapan tahun kecuali apabila kurator itu suami atau isteri kurandus atau keluarga dalam garis lurus ke atas dank e bawah.

4. Pendewasaan (Handlicting)

Pendewasaan adalah suatu upaya hukum yang dipakai untuk meniadakan keadaan belum dewasa, baik untuk keseluruhan maupun hal-hal tertentu. Pengaturan pendewasaan terdapat dalam Pasal 419 sampai dengan Pasal 432 KUHPerdata. Ada dua macam pendewasaan yaitu:

a) Pendewasaan sempurna

Dengan pendewasaan ini orang yang belum cukup umur lalu boleh dikatakan sama dengan orang yang sudah cukup umur. Pendewasaan ini diperoleh dengan surat pernyataan �sudah meerderjarig� (Venia Actatis), oleh Gubernur Jenderal setelah mendengarkan dan mendapat pertimbangan Hoogerechtshof atau Presiden setelah memperoleh pertimbangan dari M.A. yang dapat mengajukan adalah orang yang sudah mencapai umur 20 tahun penuh. Dengan adanya pendewasaan yang sempurna ini, maka orang tersebut dianggap sama dengan orang dewasa dan cakap untuk melaksanakan semua perbuatan hukum.

b) Pendewasaan terbatas

Dengan pendewasaan terbatas, orang yang belum cukup umur hanya dalam hal-hal tertentu atau perbuatan-perbuatan tertentu saja sama dengan orang dewasa, sedang dia tetap di bawah umur. Permintaan pendewasaan terbatas ini bisa diajukan oleh orang yang sudah berumur 18 tahun. Pendewasaan terbatas diberikan oleh pengadilan atas permintaan orang yang belum dewasa, dan hanya diberikan kalau orang tua/walinya tidak keberatan. Pendewasaan terbatas ini memberikan hak-hak tertentu seperti orang yang sudah dewasa dan dapat dicabut oleh pengadilan apabila ternyata disalahgunakan atau ada alasan yang kuat untuk disalahgunakan.

Agar akibat dari pendewasaan itu berlaku bagi pihak ketiga, maka pendewasaan tersebut harus diumumkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

5. Catatan Sipil (Burgerlijke Stand)

Pengertian catatan sipil adalah suatu catatan dalam suatu daftar tertentu mengenai kenyataan-kenyataan yang punya arti penting bagi status keperdataan seseorang yang dilakukan oleh pegawai kantor catatan sipil. Ada lima peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu:

a) Kelahiran, untuk menentukan status hukum seseorang sebagai subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban;

b) Perkawinan, untuk menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau isteri dalam suatu ikatan perkawinan;

c) Perceraian , untuk menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda;

d) Kematian, untuk menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, janda atau duda dari suami atau isteri yang telah meninggal;

e) Penggantian nama, untuk menentukan status hukum seseorang dengan identitas tertentu dalam hukum perdata.

Tujuan pencatatan ialah untuk memperoleh kepastian hukum tentang status perdata seseorang yang mengalami peristiwa hukum tersebut. Kepastian hukum itu penting untuk menentukan ada tidaknya hak dan kewajiban diantara para pihak yang mengadakan hubungan hukum. Dengan demikian secara rinci tujuan dari pencatatan adalah:

a) agar warga masyarakat memiliki bukti-bukti otentik;

b) memperlancar aktifitas pemerintah di bidang kependudukan;

c) memberikan kepastian hukum bagi kedudukan hukum setiap Warga Negara.

Fungsi pencatatan adalah sebagai pembuktian bahwa suatu peristiwa hukum yang dialami seseorang benar-benar telah terjadi. Untuk membuktikan bahwa benar-benar telah terjadi peristiwa hukum, diperlukan adanya suarat keterangan yang menyatakan telah terjadinya peristiwa tersebut. Surat keterangan tersebut diberikan oleh pejabat atau petugas yang berwenang untuk itu.

Untuk melakukan pencatatan dibentuk lembaga yang diberi nama Catatan Sipil (Burgerlijke Stand). Catatan sipil artinya catatan mengenai peristiwa perdata yang dialami oleh seseorang. Catatan sipil meliputi kegiatan pencatatan peristiwa hukum yang berlaku umum untuk semua warga negara Indonesia dan yang berlaku khusus untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam mengenai perkawinan dan perceraian. Lembaga Catatan Sipil yang berlaku umum secara struktural berada di bawah Departemen Dalam Negeri, sedangkan catatan sipil yang berlaku khusus untuk yang beragama Islam secara struktural berada di bawah Departemen Agama. Selanjutnya Kantor Catatn Sipil mempunyai fungsi sebagai berikut:

a) Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kelahiran;

c) Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perkawinan;

d) Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perceraian;

e) Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kematian;

f) Mencatat dan menerbitkan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak dan akta ganti nama.

Selanjutnya syarat untuk adanya pencatatan adalah sebagai berikut:

a) Adanya surat keterangan tentang peristiwa hukum;

b) Dibawa kepada pejabat Kantor Catatan Sipil;

c) Dicatat/didaftar dalam register;

d) Terbit kutipan akta otentik.

6. Domisili

Pengertian domisili adalah tempat dimana seseorang tinggal atau berkedudukan serta punya hak dan kewajiban hukum. Tempat tinggal dapat berupa wilayah atau daerah dan dapat pula berupa rumah kediaman atau kantor yang berada dalam daerah tertentu. Domisili manusia pribadi disebut dengan tempat kediaman, sedangkan domisili untuk badan hukum disebut dengan tempat kedudukan.

Arti penting domisili adalah dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban, penentuan status hukum seseorang dalam lalu lintas hukum dan berurusan dengan pengadilan. Ada beberapa macam domisili, yaitu:

a) Domisili sesungguhnya, adalah tempat yang bertalian dengan hal melakukan wewenang perdata pada umumnya (tempat kediaman seseorang sehari-hari):

(1) Tempat kediaman yang sukarela adalah tempat kediaman jika seseorang dengan bebas dan menurut pendapatnya sendiri dapat menciptakan keadaan-keadaan di tempat tertentu atau rumah tertentu.

(2) Tempat kediaman yang wajib adalah tempat kediaman jika tempat kediaman itu tidak bergantung kepada keadaan-keadaan orang yang bersangkutan itu sendiri, akan tetapi bergantung kepada keadaan-keadaan orang lain yang dalam arti hukum ada hubungan dengan orang yang pertama itu.

b) Domisli yang dipilih adalah tempat kediaman yang ditunjuk sebagai tempat kediaman oleh salah satu pihak atau lebih dalam hubungan dengan melakukan perbuatan tertentu.

7. Keadaan tak hadir

Pengertian keadaan tak hadir adalah keadaan tidak adanya seseorang di tempat kediamannya karena berpergian atau meninggalkan tempat kediaman, baik dengan ijin atau tanpa ijin dan tidak diketahui dimana ia berada.

Akibat dari keadaan tak hadir adalah pada penyelenggaraan kepentingan yang bersangkutan, dan pada status hukum yang bersangkutan atau anggota keluarga yang ditinggalkan. Selanjutnya Tahap-tahap penyelesaian keadaan tak hadir adalah sebagai berikut:

a) Masa tindakan sementara

- yang bersangkutan tidak ada ditempatnya;

- orang tersebut tidak melakukan sendiri pengaturan urusan-urusannya padahal tidak memberi kuasa.

- Bentuk penyelesaian berupa pemberian tugas kepada Balai Harta Peninggalan oleh pengadilan sebagai pelaksana pengurusan kepentingan, hak-hak dan harta kekayaannya. Dengan demikian pada masa ini Balai Harta Peninggalan harus mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban orang yang tidak hadir tersebut.

b) Masa persangkaan barangkali meninggal dunia

- 5 tahun bila yang tak hadir tidak mengangkat seseorang kuasa untuk mengurusi kepentingannya atau tidak mengatur pengurusannya.

- 10 tahun bila yang tak hadir meninggalkan kuasa atau mengatur pengurusannya.

- 1 tahun bila yang tak hadir adalah anak buah kapal atau penumpang kapal yang dinyatakan hilang atau mengalami kecelakaan.

Akibat pernyataan persangkaan mati maka hak-hak orang yang tak hadir beralih secara sementara kepada barangkali ahli waris.

c) Pengalihan hak kepada ahli waris secara definitif

- apabila diterima khabar kepastian matinya orang yang tak hadir

- apabila lampau tenggang waktu 30 tahun sejak hari pernyataan barangkali meninggal dunia yang tercantum dalam putusan pengadilan

- sudah lewat waktu 100 tahun sejak hari kelahiran orang yang tak hadir tersebut.

C. Hukum Keluarga

1. Perkawinan

Menurut Pasal 26 KUH Perdata, Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut perkawinan itu hanya merupakan hubungan lahiriah saja. Pengertian yang demikianitu kemudian berubah setelah dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Menurut Pasal 1 UUP, Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UUP tersebut, maka perkawinan itu tidak hanya merupakan hubungan lahiriah saja tetapi juga merupakan hubungan bathiniah antara seorang pria dengan seorang wanita. Hal ini terlihat dengan masuknya unsure Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pengertian perkawinan tersebut. Selanjutnya mengenai tujuan perkawinan tidak ditegaskan di dalam KUH Perdata, tetapi dalam UUP dengan tegas disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Syarat-Syarat Perkawinan

Agar suatu perkawinan itu sah, dalam arti mempunyai akibat hukum dalam lalu lintas hukum, maka perlu memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Syarat perkawinan dibedakan menjadi dua, yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai sebelum dilangsungkannya perkawinan, sedangkan syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan tatacara pelaksanaan perkawinan, baik sebelum, pada saat maupun setelah dilaksanakannya perkawinan. Syarat materiil itu sendiri dibedakan menjadi syarat materiil mutlak yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan, dan syarat materiil relatif yaitu syarat yang harus dipenuhi untuk kawin dengan orang-orang tertentu, yang berupa larangan kawin dengan orang tertentu.

a. Syarat materiil absolut :

Syarat absolut adalah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan melakukan perkawinan, yang meliputi :

1) Salah satu pihak atau keduanya tidak dalam status perkawinan;

2) Harus memenuhi batas umur minimal untuk perkawinan;

3) Harus ada persetujuan antara calon mempelai;

4) Bagi janda sudah lewat waktu tunggu ;

5) Harus ada ijin dari orang tua/orang tertentu

6) Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang sama.

b. Syarat materiil relatif

Syarat materiil relatif yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu, yang:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua, antara seorang dengan saudara neneknya;

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin;

7) Larangan untuk kawin dengan orang yang diajak melakukan perbuatan zinah;

8) Larangan untuk memperbaharui (rujuk) setelah perceraian jika belum lewat 1 tahun.

c. Syarat-syarat Formal

Syarat formal yaitu syarat yang menyangkut formalitas, yaitu syarat yang harus dipenuhi :

1) Sebelum perkawinan dilangsungkan yang meliputi pemberitahuan oleh calon mempelai kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bahwa akan dilangsungkannya perkawinan.

2) Pada waktu perkawinan dilangsungkan calon suami isteri harus menyerahkan syarat-syarat atau akta-akta, antara lain :

- akte kelahiran atau akte kenal lahir ;

- akte tentang ijin kawin;

- dispensasi untuk kawin apabila diperlukan;

- bukti bahwa pengumuman kawin telah dilangsungkan atau bukti bahwa pencegahan telah digunakan, dan lain-lain.

3) Perkawinan sah apabila setelah memenuhi persyaratan materiil dan formal, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu yang kemudian dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

3. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

Antara pencegahan dan kebatalan perkawinan terdapat perbedaan dan persamaan. Perbedaanya, pada pencegahan, perkawinan belum dilangsungkan, sedangkan dalam hal pembatalan, perkawinan telah dilangsungkan. Persamaannya adalah bahwa keduanya tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Tidak setiap orang dapat mengajukan pencegahan dan pembatalan perkawinan. Undang-Undang menentukan siapa-siapa yang dapat melaksanakan pencegahan dan pemabatalan perkawinan. Hal tersebut untuk menghindari timbulnya pemfitnahan. Orang yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan adalah: Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk orang yang masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai (Pasal 14 UUP).

Selanjutnya dalam Pasal 23 UUP ditentukan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 UU ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

D. Hukum Benda

1. Benda

Pada pokoknya mengenai benda diatur dalam pasal 499-1232 Buku II KUH Perdata, tetapi secara kasuistis diatur juga dalam Buku I, Buku III dan Buku IV KUHPerdata, bahkan diluar itu seperti di UU Hak Cipta, UU Rumah Susun, UU Cagar Budaya dan lain-lain.

Pengertian benda diatur dalam Pasal 499 KUHPerdata yaitu tiap-tiap barang atau hak yang dapat dimiliki. Benda itu sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa pengertian, yaitu:

a. Benda berujud adalah barang yang dapat diraba dengan panca indera dan benda tak berujud adalah hak yaitu benda yang tidak dapat diraba dengan panca indera;

b. Benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat dipindahkan atau dapat pindah sendiri, sedangkan benda tak bergerak adalah tanah beserta bangunan dan tanaman yang bersatu dengan tanah;

c. Benda dipakai habis dan benda dipakai tidak habis. Benda dipakai habis adalah benda yang jika dipakai menjadi habis, sedangkan benda dipakai tidak habis adalah benda yang jika dipakai tidak habis;

d. Benda yang sudah ada dan benda yang akan ada. Benda yang sudah ada adalah benda yang sudah ada di dunia, sedangkan benda yang akan ada adalah benda yang belum ada di dunia tetapi akan ada;

e. Benda dalam perdagangan dan benda diluar perdagangan. Benda dalam perdagangan adalah benda yang dapat diperdagangkan, sedangkan benda yang di luar perdagangan adalah benda yang tidak dapat diperdagangkan secara bebas;

f. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi. Benda dapat dibagi adalah benda yang karena sifatnya dapat dibagi, sedangkan benda yang tidak dapat dibagi adalah benda yang karena sifatnya tidak dapat dibagi;

g. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Benda terdaftar adalah benda yang pemilikannya harus didaftarkan pada instansi tertentu. Sedangkan benda tidak terdaftar adalah benda yang pemilikannya tidak harus didaftarkan oada instansi tertentu.

2. Hak Kebendaan

Hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda. Hak kebendaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. hak kebendaan merupakan hak mutlak yang dapat dipertahankan terhadap siapapun;

b. hak kebendaan mengikuti bendanya.

Di dalam literatur ilmu hukum, hak kebendaan dapat dibedakan menjadi:

a. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan :

1) atas miliknya sendiri yaitu hak milik ;

2) atas milik orang lain, yaitu :

a) hak menguasai

b) hak memungut hasil

c) hak pengabdian tanah

b. Hak kebendaan yang memberikan jaminan hutang

1) dalam KUHPerdata gadai dan hipotik

2) di luar KUHPerdata Credit Verband dan Fiducia

Setelah ada UU No. 4 tahun 1996, hipotik dan credit verband atas tanah diganti menjadi hak tanggungan.

3. Hak Milik :

Menurut Pasal 570 KUHPerdata, yang dimaksud dengan hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan UU dan peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan UU dan dengan pembayaran ganti rugi.

Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6, yaitu hak atas tanah mempunyai fungsi social.

Berdasarkan pengertian dari kedua ketentuan tersebut, maka yang membatasi hak milik adalah:

a. tidak bertentangan dengan undang-undang

b. tidak mengganggu hak orang lain

c. pencabutan hak

Cara mendapatkan hak milik :

a. menurut Pasal 584 KUHPerdata

b. di luar Pasal 854 KUHPerdata

c. menurut Pasal 22 KUHPerdata

Berakhirnya hak milik :

a. karena hak milik beralih kepada orang lain

b. karena musnahnya benda

c. karena dilepaskan oleh pemiliknya

d. karena jatuh pada Negara

4. Hak Menguasai

Pengertian hak menguasai diatur dalam Pasal 529 KUHPerdata yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu.

Cara mendapatkan hak menguasai sama seperti cara mendapatkan hak milik. Selanjutnya cara berakhirnya hak menguasai adalah:

a. diserahkan kepada orang lain

b. ditinggalkan

c. dicuri orang

5. Hak-hak yang memberikan jaminan hutang :

a. Gadai

b. Hipotik atas kapal

c. Hak Tanggungan

d. Fidusia

E. Hukum Perikatan

1. Pengertian

Perikatan merupakan terjemahan dari kata �verbitenis�. Selain diterjemahkan dengan istilah perikatan, verbintenis diterjemahkan dengan istilah perutangan. Pengertian perikatan adalah hubungan hukum di dalam hukum harta kekayaan antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi. Berdasarkan pengertian tersebut unsur-unsur dari perikatan adalah:

a. hubungan hukum;

b. adanya 2 pihak ;

- kreditur yaitu pihak yang berhak atas suatu prestasi;

- debitur yaitu pihak yang wajib berprestasi.

c. adanya hak dan kewajiban

d. adanya prestasi, yang wujudnya menurut Pasal 1234 KUHPerdata

- memberikan seseutu

- berbuat sesuatu

- tidak berbuat sesuatu

syarat suatu prestasi:

- harus tertentu atau dapat ditentukan

- objek diperkenankan/halal;

- dimungkinkan/dapat dilaksanakan

2. Sumber perikatan

a. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata

1) perjanjian

2) undang-undang

a) UU melulu

b) UU karena perbuatan manusia

- perbuatan menurut hukum

- perbuatan melawan hukum

  1. Di luar KUHPerdata

1) putusan pengadilan

2) moral

- otonon (kesusilaan)

- heteronom (sopan santun)

- Perikatan yang bersumber dari perjanjian, UU dan putusan pengadilan adalah obligatio civilis, yaitu perikatan yang mempunyai akibat hukum.

- Perikatan yang bersumber dari moral adalah obligatio naturalis, yaitu perikatan yang tidak mempunyai akibat hukum.

3. Macam-macam perikatan

Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Buku III KUH Perdata, maka perikatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Perikatan bersyarat (Pasal 1253 � 1267 KUHPerdata)

Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan menurut terjadinya peristiwa itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.

- perikatan dengan syarat tangguh : perikatan lahir pada saat terjadinya suatu peristiwa tertentu;

- perikatan dengan syarat batal : perikatan berakhir jika suatu peristiwa tertentu terjadi.

  1. Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1268 � 1271 KUHPerdata)

Suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya.

  1. Perikatan manasuka/alternatif (Pasal 1272 � 1277 KUHPerdata)

Dalam perikatan manasuka debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat mamaksa kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya.

Hak memilih ada pada debitur jika hak tersebut tidak secara tegas diberikan kepada kreditur.

  1. Perikatan tanggung renteng/tanggung menanggung (Pasal 1278 � 1295 KUHPerdata).

Perikatan tanggung renteng terjadi antara beberapa orang kreditur, jika di dalam perjanjian secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh hutang dan pembayaran yang dilakukan kepada salah satu kreditur membebaskan debitur, meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi diantara beberapa kreditur tadi.

Perikatan tanggung renteng juga terjadi pada para debitur jika mereka kesemuannya diwajibkan melakukan hal yang sama, sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh salah satu membebaskan debitur yan lain terhadap kreditur.

  1. Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan yang tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 1296 � 1303 KUHPerdata)

Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya, atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata maupun secara perhitungan.

Suatu perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi, meskipun barang atau perbuatan yang dimaksudkan karena sifatnya dapat dibagi-bagi, jika barang atau perbuatan tadi menurut maksud perikatan tidak boleh diserahkan atau dilaksanakan sebagian demi sebagian.

  1. Periaktan dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 � 1312 KUHPerdata)

Suatu perikatan dimana debitur diwajibkan melakukan sesuatu, jika perikatan tidak dipenuhi. Tujuan dari perikatan dengan ancaman hukuman:

1) menjamin agar prestasi dipenuhi debitur;

2) membebaskan kreditur dari pembuktian tentang jumlah/besarnya kerugian jika terjadi wanprestasi.

4. Wanprestasi

Wanprestasi adalah tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur, baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Dalam ujudnya yang riil bentuk dari wanprestasi adalah:

  1. tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
  2. melaksanakan prestasi tetapi tidak tepat waktu
  3. memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai

Untuk menyatakan debitur wanprestasi, perlu adanya pernyataan lalai (ingebrekstelling), yaitu pernyataan dari kreditur agar debitur melaksanakan prestasi dalam waktu tertentu. Pernyataan/teguran seperti ini disebut sebagai somasi (somatie). Somasi dapat berbentuk surat perintah atau akta sejenis (Pasal 1288 KUHPerdata). Berdasarkan SEMA No. 3/1963 : Salinan surat gugatan dapat dianggap sebagai somasi. Selain berisi teguran kreditur agar debitur berprestasi, di dalamnya juga harus disebutkan dasar teguran.

Tidak semua wanprestasi harus dimulai dengan adanya somasi, karena ada wanprestasi yang tanpa somasi yaitu:

  1. adanya fataal termijn (ketentuan batas waktu) dalam perjanjian;
  2. jika prestasi berupa tidak berbuat sesuatu;
  3. debitur mengakui dirinya wanprestasi

Apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak dalam suatu perikatan, maka pihak yang lainnya (kreditur) dapat menuntut:

  1. prestasi dipenuhi;
  2. prestasi dipenuhi ditambah ganti rugi;
  3. perjanjian putus;
  4. perjanjian putus ditambah ganti rugi;
  5. ganti rugi.

Ganti rugi adalah mengembalikan kreditur ke dalam keadaan seandainya debitur tidak wanprestasi. Dalam memenuhi tuntutan ganti rugi, yang dimaksud dengan kerugian meliputi : baiya-biaya (kosten); kerugian (schaden) dan bunga (interessen).

Kerugian :

- kerugian yang diderita (kosten dan schaden)

- keuntungan yang diharapkan (interessen) yang meliputi bunga moratoire, bunga yang diperjanjikan dan bunga compensatoire.

Dalam perkembangan hukum perikatan, maka cacad tersembunyi merupakan bentuk khusus dari wanprestasi. Terhadap cacad tersembunyi tersebut kreditur dapat melakukan :

- actio redhibitoria;

- actio quantiminoris.

5. Overmacht/force majeur

Overmacht adalah tidak terpenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang tidak dapat diduga terlebih dahulu dan sifatnya di luar kemampuan manusia. Overmacht dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. overmacht absolut (objektif), debitur benar-benar tidak dapat berprestasi.

b. overmacht relatif (subjektif),debitur sesungguhnya dapat berprestasi tetapi dengan pengorbanan yang luar biasa.

Overmacht berkaitan dengan risiko, yang pada hakekatnya bukan merupakan kewajiban. Dalam hukum perikatan di Indonesia dianut asas umum yang menanggung risiko adalah:

a. perjanjian sepihak : ditanggung kreditur

b. perjanjian timbal balik : ditanggung kedua belah pihak.

6. Perikatan Yang Lahir dari UU

a. Perikatan yang lahir dari UU saja.

Pembedaan perikatan yang disebutkan dalam pasal 1352 KUHPerdata dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa berdasarkan UU dapat timbul perikatan sebagai akibat perbuatan-perbuatan manusia dan kenyataan-kenyataan atau keadaan-keadaan yang bukan merupakan perbuatan manusia. Yang terakhir inilah yang dimaksud dengan perikatan yang lahir dari UU saja, misalnya pada kelahiran akan menimbulkan kewajiban alimentasi.

b. Perikatan yang lahir dari UU karena perbuatan manusia

Perikatan yang lahir dari UU karena perbuatan manusia dibedakan menjadi perbuatan menurut hukum (rechtmatigedaad) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Perbuatan menurut hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Penyelengaraan kepentingan/Zaakwarneming

Pengertian penyelenggaraan kepentingan diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata. Jika seseorang dengan sukarela tanpa mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang itu, maka secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan dan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri urusan itu.Unsur-unsur peyelenggaraan kepentingan:

a) Sukarela

- kesadaran sendiri tanpa mengharap imbalan;

- tidak mempunyai kepentingan apapun kecuali manfaat bagi yang berkepentingan sendiri;

- bertindak semata-mata karena kesediaan menolong sesama.

b) Tanpa perintah/kuasa

- bertindak atas inisiatif sendiri;

- tanpa ada pesan/perintah/kuasa dari yang berkepentingan.

c) Mewakili orang lain

- bertindak untuk kepentingan orang lain;

- urusan yang diwakili dapat perbuatan hukum atau perbuatan biasa.

d) Dengan/tanpa sepengetahuan orang tersebut

- orang yang bersangkutan tidak tahu bila kepentingannya diurus orang lain;

- kalau mengetahui tidak mencegah atau memberi kuasa.

e) Wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan tersebut.

Selanjutnya syarat-syarat untuk adanya Zaakwarneming adalah sebagai berikut::

a) Yang diurus/diwakili zaakwarnemer adalah kepentingan orang lain;

b) Perbuatan penyelenggaraan kepentingan itu dilakukan oleh zaakwarnemer dengan sukarela dan bukan karena kewajiban yang timbul dari UU maupun perjanjian;

c) Perbuatan penyelenggaraan kepentingan itu dilakukan oleh zaakwarnrmer tanpa adanya kuasa melainkan atais inisiatif sendiri;

d) Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindah sebagai zaakwarnemer.

Zaakwarneming melahirkan hak dan kewajiban baik bagi Gestor maupun bagi Dominus. Kewajiban Gestor adalah:

a) Mengerjakan segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan tersebut hingga selesai.

b) Memenuhi kewajiban sebagai bapak yang baik.

Selanjutnya Hak Gestor adalah:

a) Hak memperoleh ganti rugi atas segala perikatan yang dibuatnya secara perseorangan dan memperoleh penggantian atas segala pengeluaran yang berfaedah/perlu.

b) Hak menahan benda yang diurusnya sampai dipenuhi tuntutan di atas yang disebut dengan hak retensi.

c) Zaakwarnemer tidak berhak atas upah.

Kewajiban dominus adalah memenuhi perikatan yang dibuat oleh gestor dan membayar ganti rugi dan biaya yang dikeluarkan gestor. Sedangkan hak dominus adalah:

a) Berdasar pertimbangan hakim, berhak atas keringanan pembayaran ganti rugi dan biaya yang dikeluarkan gestor, karena adanya kelalaian/kesalahan yang dilakukan gestor.

b) Meminta pertanggungjawaban kepada gestor atas penyelenggaraan kepentingan yang telah dilakukannya.

2) Pembayaran tanpa hutang/Onverschuldigde betaling.

Pengertian pembayaran tanpa hutang terdapat dalam Pasal 1359 ayat (1) KUHPerdata. Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu hutang; apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali.

Hak menuntut kembali atas pembayaran yang dilakukan tersebut disebut Conditio Indebiti.

Bila penerima pembayaran tanpa hutang tersebut dilakukan dengan itikad buruk, maka ia harus mengembalikan penerimaan pembayaran tanpa hutang dengan bunga dan hasil-hasilnya terhitung dari hari pembayaran. Bahkan bila barang telah musnah di luar kesalahan penerima (Ps. 1362 KUHPerdata).

Bila penerimaan pembayaran dilakukan dengan itikad baik, kemudian ia menjual benda tersebut, maka ia harus mengembalikan harga benda tersebut. Namun bila ia memberikan pada orang lain secara cuma-Cuma, maka ia bebas dari kewajiban mengambalikan (Ps. 1363).

Orang yang menerima pengembalian benda wajib mengganti segala pengeluaran yang perlu guna yang perlu guna keselamatan benda tersebut (Ps. 1364).

c. Perbuatan Melawan Hukum.

Istilah perbuatan melawan hukum biasa digunakan dalam hukum perdata untuk membedakan dengan istilah perbuatan melanggar hukum atau istilah perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang biasa dipakai dalam hukum pidana guna mengartikan istilah wederrechttelijkedaad.

Pengertian perbuatan melawan hukum dapat diketahui dari Pasal 1365 KUHPerdata. Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah:

1) Melawan hukum

a) Dalam arti sempit, melawan hukum adalah melanggar hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri, yang telah diatur dalam UU. Dengan kata lain melawan hukum adalah melawan UU.

b) Dalam arti luas, melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat tersebut atau bertentangan dengan kesusilaan/sikap berhati-hati sebagaimana sepatutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap diri/barang orang lain.

2) Menimbulkan kerugian

- Ketentuan ganti rugi pada wanprestasi dapat diterapkan secara analogis.

- Ganti rugi dapat berupa materiil dan immateriil.

3) Kesalahan

- Dalam hukum perdata seseorang dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Hal ini berkaitan dengan prakiraan dan responsibilitas.

4) Hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

- Harus ada hubungan keterkaitan antara unsur-unsur kesalahan dengan timbulnya kerugian. Dengan kata lain kerugian timbul sebagai akibat dari adanya kesalahan.

- Untuk mengukur adanya hubungan kausal tersebut digunakan teori dari Von Kries yaitu teori adequate veroorzaking.

7. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian

a. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst, yang berasal dari kata kerja overeenkomen yang berarti setuju atau sepakat. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah: �Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih�.

Perumusan tersebut oleh para sarjana dianggap kurang memuaskan, karena dianggap mengandung kelemahan-kelemahan yaitu:

1) Kata ��. Suatu perbuatan �.� dapat meliputi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum dan perbuatan biasa yaitu perbuatan yang tidak menimbulkan akibat hukum. Sedangkan perjanjian merupakan perbuatan hukum, karena akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak. Oleh karena itu kata perbuatan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut lebih tepat apabila diganti dengan kata �perbuatan hukum�.

2) Pasal 1313 KUH Perdata tersebut kurang lengkap, sebab hanya menggambarkan perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat dilihat dari perumusan: ��.. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih�. Perumusan tersebut seolah-olah memberikan pengertian bahwa di satu pihak hanya ada kewajiban, sedangkan di pihak yang lain hanya ada hak saja. Oleh karena itu, agar dapat mencakup baik perjanjian sepihak maupun perjanjian timbal balik, maka sebaiknya perumusannya ditambah dengan kata-kata: �� atau kedua belah pihak saling mengikatkan dirinya ...�.

3) Perumusan Pasal 1313 KUH Perdata itu dianggap terlalu luas, karena dari perumusan pasal tersebut dapat termasuk di dalamnya perbuatan-perbuatan dalam lapangan hukum keluarga. Sedangkan yang dimaksudkan adalah hanya perbuatan dalam lapangan hukum harta kekayaan saja.

Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut maka beberapa sarjana kemudian memberikan batasan pengertian perjanjian. Subekti memberikan pengertian perjanjian sebagai berikut: �Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal �.

Menurut Sudikno Mertokusumo, �Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum�. Maksudnya bahwa dua pihak tersebut sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang harus mereka laksanakan. Kesepakatan tersebut untuk menimbulkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban. Dan apabila hak dan kewajiban tersebut dilanggar maka akibat hukumnya bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi.

Kemudian R. Setiawan yang menerjemahkan overeenkomst sebagai persetujuan menyatakan bahwa� persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.� Menurutnya penggunaan istilah persetujuan tersebut lebih tepat mengingat KUH Perdata menganut asas konsensualisme atau dengan kata lain overeenkomst pada asasnya terjadi dengan adanya kata sepakat dan kata sepakat itu timbul karena adanya kesesuaian kehendak diantara para pihak.

Dari beberapa perumusan mengenai perjanjian diatas maka tersimpul adanya unsur-unsur perjanjian sebagai berikut:

1) Adanya dua pihak atau lebih;

2) Adanya kata sepakat diantara para pihak;

3) Adanya akibat hukum yang ditimbulkan berupa hak dan kewajiban atau melakukan suatu perbuatan.

Berdasarkan unsur�unsur tersebut, dapat dirumuskan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Penggunaaan istilah perbuatan hukum lebih tepat, hal ini disebabkan jika menggunakan istilah peristiwa hukum pengertiannya cenderung merupakan sesuatu hal yang tidak dikehendaki oleh para pihak padahal dalam perjanjian hak dan kewajiban yang timbul memang dikehendaki oleh para pihak. Sedangkan apabila menggunakan istilah hubungan hukum maka pengertiannya terlalu luas sebab hak dan kewajibannya timbul selain karena perjanjian juga karena undang-undang.

b. Asas � asas Perjanjian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan asas adalah hukum dasar atau dasar dari sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir dan berpendapat atau cita-cita. Pada bagian lain disebutkan bahwa pengertian asas sama dengan pengertian Principle dalam bahasa Inggris, atau pengertian Leer dalam bahasa Belanda dimana keduanya mempunyai arti sebagai teori atau ajaran pokok. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan asas hukum adalah suatu pikiran dasar yang bersifat umum yang melatarbelakangi pembentukan hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut pada umumnya tidak tertuang di dalam peraturan yang kongkrit. Hal ini disebabkan sifat dari asas tersebut adalah abstrak dan umum. Adapun asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah sebagai berikut:

1) Asas konsensualisme.

Asas ini berhubungan dengan saat lahirnya perjanjian. Berdasarkan asas ini maka perjanjian itu lahir sejak adanya kata sepakat diantara para pihak. Asas konsensualisme dapat dijumpai dalam pasal 1320 butir 1 jo pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengatakan bahwa �semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya�. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian telah lahir sejak saat tercapainya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain, perjanjian itu lahir apabila sudah tercapai kesepakatan dari para pihak mengenai hal-hal pokok yang menjadi obyek perjanjian dan tidak perlu adanya formalitas tertentu selain yang telah ditentukan undang-undang.

Terhadap asas konsensualisme itu ada perkecualiannya yaitu oleh undang � undang ditetapkan formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak memenuhi bentuk yang ditetapkan, seperti misalnya: Perjanjian penghibaan yang berupa benda tak bergerak harus dengan akta notaries; Perjanjian perdamaian harus dengan bentuk tertulis. Perjanjian yang pembuatannya menggunakan formalitas-formalitas tertentu disebut perjanjian formil. Di samping itu ada juga pengecualian lain yaitu pada perjanjian riil. Dalam perjanjian riil ini lahirnya perjanjian tidak pada saat adanya kata sepakat, tetapi pada saat obyek diserahkan secara nyata, misalnya dalam perjanjian penitipan.

2) Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak ini erat sekali kaitannya dengan isi, bentuk dan jenis dari perjanjian yang dibuat. Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa �semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini dapat disimpulkan dari kata �semua� yang mengandung 5 makna yaitu:

a) Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian;

b) Setiap orang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c) Setiap orang bebas menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya;

d) Setiap orang bebas menentukan isi dan syarat �syarat perjanjian yang dibuatnya;

e) Setiap orang bebas untuk mengadakan pilihan hukum ,maksudnya yaitu bebas untuk memilih pada hukum mana perjanjian yang dibuatnya akan tunduk.

Dengan adanya asas kebebasan berkontrak menyebabkan timbulnya berbagai macam perjanjian dalam masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bahkan perjanjian yang timbul dalam masyarakat (perjanjian tidak bernama) lebih banyak daripada perjanjian bernama yang ada dalam Buku III KUH Perdata.

3) Asas pacta sunt servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat suatu perjanjian dan diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH perdata. Asas tersebut dapat disimpulkan dari kata �� berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya�.

Dengan adanya asas pacta sunt servanda berarti para pihak harus mentaati perjanjian yang telah mereka buat seperti halnya mentaati undang-undang, maksudnya apabila diantara para pihak ada yang melanggar perjanjian tersebut maka pihak tersebut dianggap melanggar undang-undang, yang tentunya akan dikenai sanksi hukum. Oleh karena itu akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik tanpa perssetujuan pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yaitu �suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.�

4) Asas itikad baik

Asas itikad baik berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Asas ini menghendaki bahwa apa yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut harus dilaksanakan dengan memenuhi tuntutan keadilan dan tidak melanggar kepatutan. Kepatutan didalam perjanjian dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, tetapi harus ada keseimbangan antara berbagai kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan. Keadilan maksudnya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang sudah diperjanjikan namun untuk pemenuhan janji tersebut harus memperhatikan norma-norma yang berlaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yaitu �suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.� Itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu:

a) Itikad baik dalam arti subyektif

Itikad baik dalam arti subyektif dapat diketemukan dalam lapangan hukum benda dan dalam hukum perikatan . Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1977 KUH Perdata mengenai kedudukan berkuasa dan dalam pasal 531 KUH Perdata. Itikad baik disini dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.

b) Itikad baik dalam arti Obyektif

Itikad baik dalam arti obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan perjanjian tersebut harus tetap berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta harus berjalan diatas rel yang benar. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata memberikan suatu kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan, namun, tentu saja ada batas � batasnya.

5) Asas kepribadian

Asas kepribadian ini dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa �Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.� Dengan demikian dapat dibenarkan bahwa dalam suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban terhadap pihak ketiga, juga tidak boleh mendatangkan keuntungan atau kerugian pada pihak ketiga kecuali telah ditentukan lain oleh undang-undang. Pernyataan ini diatur dalam pasal 1340 ayat (2) yang menyatakan bahwa �suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata.

c. Syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Dari keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif karena menyangkut orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Syarat subyektif ini apabila tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar). Yang dapat meminta pembatalan dalam hal seorang anak yang belum dewasa adalah anak itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua atau walinya dan untuk seseorang yang berada dibawah pengampuan maka yang meminta pembatalan perjanjian adalah pengampunya. Sedangkan untuk seseorang yang telah memberikan kesepakatan secara tidak bebas maka orang itu sendiri yang dapat meminta pembatalan perjanjian. Pembatalan perjanjian ini tidak dapat selamanya dan menurut pasal 1454 KUH Perdata ditentukan sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun. Selama pembatalan tersebut belum dilaksanakan maka perjanjian itu masih tetap berlaku sebagai perjanjian yang sah dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.

Syarat yang ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena menyangkut obyek yang menjadi isi perjanjian. Apabila syarat onyektif ini tidak dipenuhi didalam pembuatan suatu perjanjian maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut tanpa dimintakan pembatalannya oleh hakim sudah batal dengan sendirinya atau dengan kata lain perjanjian tersebut dianggap tidak pernah terjadi.

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat merupakan pertemuan antara dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak yang lain. Sepakat atau yang dikehendaki pihak yang lain. Sepakat atau persetujuan kehendak diantara para pihak tersebut adalah mengenai hal � hal yang pokok dalam suatu perjanjian. Denagn demikian mereka menghendaki sesuatu yang berlainan satu sama lain secara timbal balik artinya pihak yang lain mempertemukan kehendak yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan.

Kata sepakat dari para pihak dalam perjanjian harus berupa kesepakatan yang bebas artinya benar-benar atas kemauan sukarela dari para pihak yang mengadakan perjanjian sehingga sepakat yang diberikannya bukan karena kekhilafan, paksaan atau penipuan. Apabila sepakat yang diberikan itu karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut mengandung cacat kehendak.

Mengenai kekhilafan ini pasal 1322 KUH Perdata menyatakan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

Berdasarkan pasal 1322 KUH Perdata tersebut, ada 2 jenis kekhilafan yaitu :

a) Kekhilafan mengenai orang dengan siapa seseorang mengikatkan dirinya (error in persona);

b) Kekhilafan mengenai hakikat bendanya (error in substantia).

Selain kekhilafan, hal lain yang menyebabkan suatu kesepakatan tidak sah adalah karena adanya paksaan. Pasal 1324 ayat (1) KUH Perdata menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan paksaan ialah apabila perbuatan tersebut dapat menimbulkan rasa takut bagi orang yang berpikiran sehat, juga menimbulkan rasa takut dan ancaman bagi dirinya maupun harta kekayaannya.

Pembatalan perjanjian juga bisa didasarkan karena adanya penipuan terhadap salah satu pihak sehingga karena adanya penipuan tersebut pihak yang tertipu membuat perjanjian. Penipuan ini terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihal lawan agar memberikan perijinannya. Apabila yidak dilakukan tipu muslihat tersebut maka pihak yang lain tidak akan membuat perjanjian tersebut. Hal ini diterangkan dalam pasal 1328 KUH Perdata.

Sehubungan dengan adanya kemungkinan pernyataan kehendak yang tidak selalu sama dengan kehendak, maka timbul persoalan mengenai cara penentuan tercapainya kata sepakat. Cara yang sering digunakan untuk menentukan terjadinya kata sepakat adalah dengan menggunakan berbagai teori, yaitu:

a) Teori kehendak (Wilstheorie)

Teori ini lebih menekankan pada faktor kehendak. Menurut teori ini, jika ada pernyataan kehendak yang berbeda dengan kehendak yang sesungguhnya maka pihak yang menyatakan kehendak tersebut tidak terikat pada pernyataan tersebut..

b) Teori pernyataan (Verklaringstheorie)

Yang menjadi patokan dalam teori ini adalah apa yang dinyatakan oleh para pihak. Dalam teori ini tidak memperhatikan apakah pernyataan kehendak tersebut sama dengan kehendak yang sesungguhnya ataupun tidak.

c) Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori ini menyatakan bahwa kata sepakat terjadi jika ada pernyataan kehendak yang secara obyektif dapat dipercaya.

Di samping adanya persoalan mengenai cara penentuan tercapainya kata sepakat, juga terdapat persoalan mengenai saat dan tempat terjadinya kesepakatan yang melahirkan perjanjian. Hal ini berhubungan dengan adanya kemungkinan terjadinya perjanjian tanpa hadirnya para pihak atau salah satu pihak yang membuat perjanjian. Maka untuk pemecahan persoalan ini digunakan berbagai teori yang ada dibawah ini:

a) Teori pernyataan (Uitingstheorie)

Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran (akseptor) telah menulis surat jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut.

b) Teori pengiriman (Verzendingstheorie)

Teori ini mengemukakan bahwa perjanjian terjadi pada saat dikirimkannya surat jawaban penerimaan penawaran oleh akseptor.

c) Teori pengetahuan (Vernemingstheorie)

Teori ini mengemukakan bahwa perjanjian terjadi setelah pihak yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya telah diketahui oleh pihak yang lain.

d) Teori penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini bahwa perjanjian terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian. Mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian, sebagai mana diatur oleh pasal 1330 KUH Perdata, adalah:

a) Orang yang belum dewasa;

b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

c) Orang perempuan dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.

Orang yang belum dewasa menurut pasal 330 KUH Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan. Adapun pengertian mereka yang ditaruh dibawah pengapuan adalah orang � orang yang harus diwakili oleh seorang pengampu ataupun kuratornya apabila ia akan melakukan perbuatan hukum. Seseorang dapat ditaruh dibawah pengapuan dikarenakan gila, dungu, mata gelap, lemah akal, pemabuk, dan pemboros. Selain kedua golongan diatas, KUH Perdata menyebutkan bahwa seorang perempuan bersuami tidak boleh melakukan perbuatan hukum tertentu tanpa izin dari suaminya. Hal demikian telah diatur dalam pasal 108 dan 110 KUH Perdata. Menurut undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa: �hak dan kedududkan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan dirumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.� Kemudian ayat kedua menyebutkan: �masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian pada saat sekarang seorang wanita yang telah bersuami boleh melakukan perbuatan hukum tanpa harus mendapat ijin terlebih dahulu dari suaminya.

3) Suatu hal tertentu

Adapun maksud suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah obyek daripada perjanjian, suatu pokok dimana perjanjian diadakan. Didalam suatu perjanjian obyek perjanjian harus tertentu dan setidak tidaknya dapat ditentukan. Pokok perjanjian ini tidak harus ditentukan secara individual tetapi cukup dapat ditentukan menurut jenisnya.

Hal ini menurut ketentuan pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: �Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung�.

Dari pasal tersebut tergantung pengertian bahwa perjanjian atas suatu barang yang baru akan ada itu diperbolehkan. Kemudian dalam pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa �barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian�. Barang-barang yang baru akan ada dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

a) Barang yang baru akan ada dalam pengertian mutlak yaitu barang yang pada saat lahirnya pejanjian, sama sekali belum ada.

b) Barang yang baru akan ada dalam penegertian nisbi yaitu barang sudah ada pada saat lahirnya perjanjian tetapi pada pihak tertentu barang tersebut masih merupakan suatu harapan untuk dimiliki.

4) Suatu sebab yang halal

Pembentuk undang � undang tidak memberikan definisi tentang suatu sebab dalam pasal � pasal KUH Perdata. Menurut Yurisprudensi yang dimaksun dengan � sebab � adalah sesuatu yang akan dicapai oleh para pihak dalam perjanjian atau sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian.

Dalam pasal 1336 KUH Perdata, disebutkan adanya perjanjian dengan macam sebab atau kausa yaitu:

a) Perjanjian dengan sebab yang halal;

b) Perjanjian dengan sebab yang palsu atau terlarang;

c) Perjanjian tanpa sebab.

Perjanjian dengan sebab yang halal disini maksudnya bahwa isi dari perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang � undang, kesusilaan, dan ketertiban umum sebagaimana ditentukan dalam pasal 1337 KUH Perdata.

Perjanjian dengan sebab yang palsu (terlarang) termasuk dalam perngertian dalam sebab yang tidak halal. Suatu sebab dikatakan palsu apabila sebab tersebut diadakan oleh para pihak untuk menutupi atau menyelubungi sebab yang sebenarnya. Sedangkan sebab yang terlarang maksudnya sebab yang bertentangan dengan undang � undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Suatu perjanjian tanpa sebab dapat terjadi apabila tujuan yang dimaksudkan oleh para pihak pada saat dibuatnya perjanjian tidak akan tercapai. Dalam pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa �suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan .� Dengan demikian perjanjian itu tidak pernah ada atau batal demi hukum.

d. Jenis � jenis perjanjian

Untuk dapat mengetahui jenis � jenis perjanjian maka dapat dilakukan dengan cara mengkategorisasikan semuaperjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata, sebab dalam KUH Perdata tidak diketemukan adanya ketentuan yang mengatur mengenai jenis � jenis perjanjian.

Ditinjau dari segi akibat hukum yang ditimbulkan dalam perjanjian maka perjanjian dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:

1) Perjanjian obligatoir

Merupakan perjanjian yang hanya menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Dengan kata lain, perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan. Misalnya dalam perjanjian jual beli baru timbul hak dan kewajiban secara timbal balik antara penjual dan pembeli yaitu penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang sekaligus memberikan hak kepadanya untuk menuntut pembayaran harga dan disisi lain pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang sekaligus ia mempunyai hak untuk menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya.

2) Perjanjian leberatoir

Merupakan perjanjian yang isinya bertujuan untuk membebaskan para pihak dari suatu kewajiban hukum tertentu. Perjanjian ini maksudnya adalah untuk menghapuskan perikatan yang ada diantara para pihak tersebut.

3) Perjanjian kekeluargaan.

Perjanjian ini merupakan perjanjian yang terdapat dalam lapangan hukum keluarga, misalnya perkawinan. Perkawinan termasuk perjanjian karena berdasarkan kata sepakat antara para pihak yang diadakan secara bebas tanpa paksaan dan menimbulkan hak serta kewajiban. Namun perjanjian tersebut hanya mempunyai akibat hukum dalam hukum keluarga saja dan akibat hukum tersebut ada diluar hukum kekayaan, kecuali yang ada dalam lapangan hukum harta perkawinan.

4) Perjanjian pembuktian

Dalam hal ini para pihak bebas dan berwenang untuk mengadakan perjanjian mengenai alat � alat bukti yang akan berlaku diantara mereka. Para pihak juga menentukan sendiri kekuatan pembuktian suatu alat bukti. Perjanjian yang demikian ini sering disebut sebagai perjanjian pembuktian dan termasuk dalam perjanjian dilapangan hukum acara.

5) Perjanjian kebendaan

Perjanjian ini merupakan perjanjian yang bertujuan untuk mengalihkan atau menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak � hak kebendaan. Perjanjian kebendaan ini merupakan pelaksanaan dari perjanjian obligatoir.

Sebagian besar perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata adalah perjanjian oblogatoir. Yang termasuk dalam perjanjian ini adalah:

1) Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu puhak saja sedangkan pada pihak yang lain hanya terdapat hak saja, misalnya perjanjian hibah. Sedangkan perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian, misalnya perjanjian jual beli.

2) Perjanjian konsensuil, Riil dan Formil

Perjanjian konsensuil yaitu perjanjian yang lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil yaitu perjanjian yang lahir dengan diadakan penyerahan benda yang menjadi obyek perjanjian, misalnya perjanjianpenitipan barang. Sedangkan perjanjianformil yaitu perjanjian yang lahir dengan dipenuhinya formalitas � formalitas tertentu, mislnya dalam perjanjia pendirian perseroan terbatas harus dengan akta notaris.

3) Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Perjanjian bernama yaitu perjanjian yang pada umumnya sudah dikenal dengan nama � nama tertentu dan sudah diatur secara khusus dalam KUH Perdata dan KUH Dagang. Sedangkan perjanjian tidak bernama (perjanjian jenis baru), yaitu perjanjian yang belum dikenal dengan nama khusus dalam KUH Perdata dan KUH dagang tetapi tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Perjanjian jenis baru ini dibedakan menjadi dua macam yaitu:

a) Perjanjian jenis baru murni, yaitu perjanjian � perjanjian jenis baru yang timbul dalam masyarakat dan tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun KUH Dagang.

b) Perjanjian jenis baru campuran, yaitu perjanjian jenis baru yang didalamnya mengandung unsur � unsur dari berbagai perjanjian bernama, misalnya perjanjian jual beli.

e. Hapusnya perjanjian.

Hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjiannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Misalnya dlam perjanjian jual beli; dengan dibayarnya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus sedangkan perjanjiannya belum karena perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Jika semua perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian itu hapus seluruhnya, maka perjanjian tersebut juga berakhir dalam hal ini hapusnya perjanjian tersebut akibat dari hapusnya perikatan � perikatannya.

Sebaliknya hapusnya perjanjian dapat juga mengakibatkan hapusnya perikatan � perikatannya, yaitu apabila perjanjian hapus dengan berlakunya surut, misalnya sebagai akibat dari pembatalan berdasarkan wanprestasi (pasal 1266 KUH Perdata) maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus dan perikatan itu tidak perlu lagi dipenuhi, begitu pula terhadap perikatan yang telah dipenuhi harus ditiadakan. Tetapi dapat juga terjadi bahwa perjanjian hapus untuk waktu selanjutnya sehingga kewajiban � kewajiban yang telah ada tetap ada. Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa yaitu dengan pernyataan mengakhiri perjanjian maka perjanjian sewa menyewa dapat diakhiri akan tetapi perikatan untuk membayar uang sewa atas sewa yang telah dinikmati tidak ikut berakhir atau hapus.

Untuk memberikam gambaran yang lebih jelas maka berikut ini akan diterangkan mengenai sebab-sebab hapusnya perjanjian, yaitu:

1) Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.

Maksudnya bahwa perjanjian tersebut hapus apabila para pihak telah menentukan saat berakhirnya perjanjian itu.

2) Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.

Misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjajian untuk selama waktu tertentu supaya tidak melakukan pemecahan harta warisan . Akan tetapi waktu perjanjian tersebut dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.

3) Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus.

4) Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging).

Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu puhak. Opzegging dapat hanya ada pada perjanjian perjanjian yang bersifat sementara misalnya dalam perjanjian kerja, perjanjian sewa menyewa.

5) Perjanjian hapus karena putusan hakim.

Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa rumah, apabila pemilik rumah pada waktu menyerahkan rumah untuk disewa tidak menentukan jangka waktu berakhirnya sewa sehingga menimbulkan kesulitan untuk menghentikan sewa menyewa tersebut maka hal ini dapat dilakukan dengan putusan Pengadilan Negeri.

6) Tujuan perjanjian telah tercapai.

Apabila tujuan perjanjian tersebut telah tercapai maka perjanjian tersebut akan berakhir. Misalnya dalam perjanjian jual beli sepeda, apabila pembeli sudah melunasi harga sepeda yang dibeli dan penjual telah menyerahkan sepeda tersebut kepada pembeli maka perjanjian tersebut telah berakhir.

7) Dengan perjanjian para pihak.

Perjanjian akan hapus dengan adanya perjanjian antara para pihak yang membuatnya. Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa rumah dibuat perjanjian oleh para pihak yang menentukan bahwa sewa rumah tersebut berakhir 3 (tiga) tahun yang akan datang.

8. Hapusnya Perikatan

Pasal 1381 KUHPerdata menentukan ada 10 cara hapusnya perikatan. Dari 10 cara itu dapat dibedakan menjadi 3 kelompok :

  1. Hapusnya perikatan dimana kreditur memperoleh prestasi tertentu, terjadi dalam hal : pembayaran; penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan (konsinyasi); pembaharuan hutang (novasi); perjumpaan hutang (kompensasi); dan percampuran hutang.
  2. Hapusnya perikatan dimana kreditur dengan sukarela melepaskan prestasi yang seharusnya diterima, terjadi dalam hal pembebasan hutang.
  3. Hapusnya perikatan dimana kreditur dengan sukarela melepaskan prestasi yang seharusnya diterima, terjadi dalam hal : pembebasan hutang.

Berikut ini penjelasan secara singkat 10 cara hapusnya perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1381 KUH Perdata.

a. Pembayaran (Pasal 1382 � 1403 KUHPerdata)

Pengertian pembayaran dapat disimpulkan dari Pasal 1383 KUHPerdata, tentang perikatan untuk melakukan sesuatu; dan Pasal 1384 KUHPerdata, tentang perikatan untuk memberikan sesuatu. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan pembayaran adalah : �tiap-tiap pemenuhan perikatan apapun bentuk dan sifat prestasinya�. Hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan pembayaran adalah:

1) Siapa yang wajib melakukan pembayaran ;

2) Siapa yang dapat melakukan pembayaran ;

3) Kepada siapa pembayaran harus dilakukan ;

4) Dimana pembayaran harus dilakukan;

5) Kapan pembayaran harus dilakukan.

b. Penawaran Pembayaran Tunai diikuti Penitipan

Syarat sahnya penawaran tunai :

1) Penawaran harus dilakukan kepada kreditur/kuasanya;

2) Penawaran harus dilakukan oleh orang yang berkewajiban membayar;

3) Harus meliputi jumlah hutang pokok ditambah bunga dan biaya-biaya;

4) Jika dalam perjanjian yang mendasari penawaran pembayaran itu telah dibuat suatu ketetapan waktu, maka penawaran tersebut harus dilakukan setelah ketetapan itu tiba;

5) Penawaran harus dilakukan setelah semua syarat perikatan dipenuhi;

6) Penawaran harus dilakukan ditempat yang menurut perjanjian itu pembayaran harus dilakukan, jika tidak penawaran dilakukan ditempat tinggal kreditur.

7) Harus dilakukan oleh notaris atau juru sita disertai 2 orang saksi.

Prosedur Penawaran Pembayaran Tunai :

1) Debitur minta notaris/juru sita PN untuk membantunya menawarkan secara resmi batang/uang yang akan dibayarkan kepada kreditur;

2) Notaris/juru sita selanjutnya akan membuat rincian tentang barang/uang yang akan ditawarkan;

3) Notaris/juru sita datang ke tempat kreditur dan menyatakan bahwa ia mendapat perintah debitur untuk membayar hutang debitur dengan cara mebayarkan barang/uang yang telah dirinci.

4) Jika kreditur bersedia menerima, maka pembayaran tersebut selesai. Tetapi jika menolak, maka notaris/juru sita membuat berita acara yang menyebutkan �telah dilakukan pembayaran tunai tetapi kreditur menolak menerima�.

Prosedur penitipan

1) Kepada kreditur dikirimkam suatu pemberitahuan tentang hari, jam dan tempat dimana barang/uang yang ditawarkan itu akan disimpan;

2) Barang/uang yang tadi ditawarkan tersebut kemudian oleh debitur dititipkan pada Kas Penyimpanan di Kepaniteraan PN yang berwenang mengadili sengketa dalam perjanjian yang mendasari terjadinya konsinyasi tersebut ;

3) Oleh notaris/juru sita dibuat Berita Acara yang menyebutkan ujud barang/jumlah uang yang ditawarkan, penolakan oleh kreditur dan pelaksanaan penyimpanan. Kemudian ditandatangani oleh notaris/juru sita dan 2 orang saksi.

c. Pembaharuan Hutang/Novasi

Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian yang dimaksudkan untuk menghapuskan suatu perjanjian yang sudah ada dan sekaligus menjadikan perjanjian itu perjanjian baru. Jadi akibat dari suatu novasi adalah hapusnya perjanjian yang lama dan timbulnya perjanjian baru.

Syarat untuk adanya pembaharuan hutang adalah :

1) Ada perjanjian yang mendahului pembaharuan hutang tersebut;

2) Ada perjanjian baru yang diadakan sebagi pengganti dari perjanjian lama;

3) Ada hubungan kausal antara hapusnya perjanjian lama dengan timbulnya perjanjian yang baru.

4) Ada kehendak untuk mengadakan suatu novasi.

Macam-macam novasi

1) Novasi Objektif

a) Dengan penggantian isi perjanjian

b) Dengan pengantian sebab perjanjian

2) Novasi Subjektif, yang dibedakan :

a) Novasi Subjektif Aktif

b) Novasi Subjektif Pasif

1) Expromissio

2) Delegatio

d. Perjumpaan hutang / kompensasi

Kompensasi terjadi apabila dua orang masing-masing merupakan debitur antara yang satu dengan yang lainnya secara timbal balik mengadakan perhitungan atas utang-utangnya. Kompensasi dapat terjadi untuk seluruh hutang maupun untuk sebagian hutang.

Untuk terjadinya kompensasi diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, sebagai-mana diatur dalam Pasal 1427 KUHPerdata :

1) Ada dua orang yang secara timbal balik merupakan debitur;

2) Objeknya sejumlah uang atau barang yang sejenis yang dapat dipakai habis;

3) Hutang-hutangnya dapat ditagih seketika;

4) Hutangnya dapat ditetapkan jumlahnya.

d. Percampuran hutang

Berdasarkan Pasal 1436 KUH Perdata percampuran hutang terjadi demi hukum apabila kedudukan kreditur dan debitur berada dalam tangan satu orang. Dengan adanya percampuran hutang ini, maka hutang piutang antara debitur dan kreditur menjadi hapus untuk seluruhnya.

Percampuran hutang dapat terjadi karena :

1) Pewarisan ;

2) Perkawinan dengan persatuan harta secara bulat.

f. Pembebasan hutang

Pembebasan hutang adalah suatu perbuatan hukum dari kreditur yang berupa pelapasan hak untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan hutang dapat dilakukan secara sepihak maupun timbal balik.

Pasal 1438 KUH Perdata menentukan bahwa pembebasan hutang harus dinyatakan dengan tegas, tidak boleh diperseangkakan.

Pembebasan hutang dapat dengan kontra prestasi dapat pula dengan Cuma-Cuma

g. Musnahnya barang yang terhutang

Menurut Pasal 1444 KUH Perdata apabila barang tertentu yangmenjadi objek perikatan musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan debitur, sebelum ia lalai menyerahkan pada waktu yang telah ditentukan, maka perikatan menjadihapus.

Meskipun debitur lalai menyerahkan barang itu, ia akan bebas perikatannya itu apabila ia dapat membuktikan bahwa musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya.

Selanjutnya Pasal 1445 menentukan apabila karena kehilangan itu debitur telah memperoleh ganti kerugian dari orang lain (perusahaan asuransi), maka hakl atas ganti kerugian tersebut harus diserahkan kepada kreditur.

h. Pembatalan Perikatan

Pasal 1446 KUH Perdata menyebutkan:

(1) �Semua periaktan yang dibuat orang-orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelum-dewasaan atau pengampuannya�.

(2) �Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-periaktan tersebut melampaui kekuasaan mereka�.

Apabila Pasal 1446 KUH Perdata dicermati betul, maka yang dimaksudkan adalah pembatalan (dapat dibatalkan) dan bukan kebatalan (batal demi hukum) dari suatu perikatan. Karena syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal tersebut adalah syarat-syarat subjektif untuk sahnya suatu perjanjian sebagiamana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Sehingga konsekuensi tidak dipenuhinya syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

i. Berlakunya suatu syarat batal

Pasal 1265 KUHPerdata menentukan :

(1) �Suatu syarat batal adalah syarat apabila dipenuhi menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan�.

(2) �Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi�.

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu syarat, yaitu suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya. Dengan dipenuhinya syarat tersebut maka periaktan tersebut batal.

Perikatan juga batal apabila syarat itu bertentangan dengan kesusilaan, dilarang oleh UU atau jika pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kemauan debitur.

j. Daluwarsa/lampau waktu

Menurut ketentuan Pasal KUHPerdata daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu periaktan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang. Dari ketentuan pasal tersebut, maka ada dua macam daluwarsa, yaitu:

1) Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu baranag, disebut dengan istilah acquisitive prescription; diatur dalam Pasal 1963 KUHPerdata.

2) Daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut dengan istilah extingtive prescription, diatur dalam pasal 1967 KUH Perdata.
sumber : Materi Kuliah Hukum Perdata oleh Antari Innaka (dosen fakultas hukum UGM)