24 Jan 2010

Hukum Ekstradisi bagian 5 (Oleh : Agustinus Supriyanto)



       Berdasarkan uraian sebelumnya, tampaklah bahwa ekstradisi sudah merupakan lembaga hukum yang sudah mapan dan “terhormat” eksistensinya. Kemapanan dan semakin “terhormatnya” kedudukan lembaga ekstradisi semakin tampak jelas, terutama dengan semakin bertambahnya jumlah dan jenis kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional, yang pengaturannya dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. Dalam konvensi-konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuh puluhan dan sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya. Konvensi-¬konvensi internasional yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi intenasional, misalnya:
1.        Kejahatan perbudakan yang diatur dalarn Slavery Convention 1926, beserta dengan protokol-protokolnya;   
2.    Kejahatan Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atas Prostitusi yang diatur dalam Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others, 1949;
3.    Kejahatan Genocide, yang diatur dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948.
4.    Kejahatan penerbangan, seperti diatur dalam tiga Konvensi, yaitu:
a.    Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (Tokyo Convention, 1963);
b.    Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (The Hague Convention, 1970); and
c.    Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (Montreal Convention, 1571).
5.    Kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara internasional, seperti diatur dalam Convention on the Prevenion and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973;
6.    Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1987;
7.    dan lain-lainnya.
       Perlu dikemukakan, bahwa Konvensi-konvensi yang mengatur atau berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, barulah akan efektif, apabila telah diimplementasikan di dalam hukum atau undang-¬undang pidana nasional masing-masing negara pesertanya (negara-negara yang telah meratifikasinya). Dengan kata lain, hanyalah dengan mentransformasikan substansi konvensi tersebut ke dalam bentuk undang¬-undang pidana nasionallah, maka Konvensi itu bisa efektif. Tanpa ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang pidana nasional maka Konvensi itu tetap tidak efektif, rneskiEmn w.uttu neclnrn itu tclal1 meratifikasinya.
       Sekarang timbul pertanyaan, apa hubungan antara kortvensi-konvensi yang dikutip di atas dengan ekstradisi? Atas pertanyaan ini dapat diberikan jawaban sebagai berikut: Bahwa dengan beralih bentuk menjadi undang¬-undang pidana nasional, maka negara yang bersangkutan akan dapat menjadikan atau memasukkan kejahatan tersebut sebagai salah satu jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengekstradisikan si pelakunya, dengan mencantumkannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi antara negara-negara peserta dari konvensi tersebut.
       Sekarang baiklah dilihat sepintas Konvensi-Konvensi tersebut di atas dengan melihat angka tahun kelahirannya dalarn hubungannya dengan lembaga ekstradisi.
       Konvensi-konvensi yang dibuat sebelum tahun enam puluhan, ternyata tidak ada satupun yang menyinggung tentang dapat atau tidaknya kejahatan yang diatur dalam Konvensi, itu sebagai alasan untuk mengekstradisikan pelakunya. Jadi, apakah negara-negara peserta pada Konvensi itu akan memasukkannya sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk mengekstradisikan pelakunya ataukah tidak sepenuhnya tergantung pada negara-negara yang bersangkutan. Hanya Konvensi tentang Genocide 1948 menegaskan, bahwa kejahatan genocide dan kejahatan lain seperti disebutkan dalam pasal III Konvensi, tidak dianggap sebagai kejahatan politik untuk maksud dan tujuan ekstradisi.
       Sedangkan konvensi-konvensi yang lahir atau dibuat setelah tahun tujuh puluhan menunjukkan sikap yang lebih tegas dalam hubungannya dengan ekstradisi. Dalam salah satu pasalnya ditegaskan bahwa kejahatan yang tersebut dalam Konvensi ini digolongkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk mengekstradisikan pelakunya (extraditable crime), dengan mencantumkannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi antara negara-negara peserta Konvensi. Atau jika antara para pihak belum terikat pada suatu perjanjian ekstradisi, maka Konvensi ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengekstradisikan pelaku kejahatan tersebut.
       Dewasa ini, memang sudah umum dapat dijumpai dalam setiap Konvensi yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, suatu penegasan tentang kedudukan Konvensi tersebut sebagai dasar hukum untuk melakukan ekstradisi atas si pelakunya. Dengan adanya penegasan semacam ini dalam setiap konvensi yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, maka tampaklah bahwa ekstradisi mengalami perluasan jangkauan berlakunya, yaitu di samping terdapat dalam bentuk perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi, juga dalam perjanjian atau konvensi yang mengatur tent ang kejahatan yang berdimensi internasional.
       Hal ini juga menunjukkan, betapa masyarakat internasional telah menaruh harapan yang cukup besar kepada lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebagai salah satu sarana dalam pencegahan dan pemberatasan kejahatan pada umumnya, kejahatan yang berdimensi internasional pada khususnya. Selain daripada itu, juga menunjukkan semakin bertambah mapan dan terhormatnya kedudukan lembaga ekstradisi ini dalam era globalisasi masyarakat internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar